Pages

Friday, 10 December 2010

experience boat cruise


Salah satu tujuan saya mengajak Baby bindi traveling adalah untuk mengenalkan dengan berbagai alat transportasi. Saat jalan-jalan ke Makassar, kami mengajak Baby bindi naik perahu. Nggak jauh-jauh kok, cuma dari dermaga Pantai Losari ke Pulau kahyangan yang ditempuh sekitar 15 menit sekali jalan. Penginnya sih sekalian ke Samalona, biar bisa main air, tapi karena Samalona relatif lebih jauh (30-45 menit), sementara ini adalah pengalamana bindi berperahu, maka saya memilih untuk mengurungkan hasrat. Gak apa yang deket dulu, nanti kalau bindi sudah ketahuan enjoy, bolehlah dicoba lagi berperahu yang lebih jauh.

Ternyata Bindi enjoy banget di atas perahu. Dia takjub melihat hamparan air yang begitu luasnya. Juga kegirangan melihat percikan air laut di sisi kanan kiri perahu. Tangannya menunjuk ke segala arah sambil berkata-kata yang kemudian saya terjemahkan sendiri, "ooww..itu ada kapal besar" atau "ada ikannya nggak ya" atau "lautnya luas ya, bu..."

Sampai di Pulau Kahyangan, Baby Bindi cuma main-main pasir sebentar. Sebenarnya sih dia masih betah berlama-lama, tapi saya yang nggak betah. Pagi itu, saat kami berperahu ke Pulau Kahyangan, sebenarnya tidak dengan persiapan. Iseng-iseng aja nyuapin sarapan pagi Bindi di tepi pantai Losari, lalu pas mau balik ke hotel kami nyari warung coto. Lagi bengong di pinggir jalan yang tak jauh dari dermaga, eh ditawarin tukang perahu. "Gimana, sekalian aja yuk?" tanya saya pada Edo yang langsung disetujui. Jadilah kami yang belum mandi ini berperahu ke pulau Kahyangan.

Oh ya Pulau Kahyangan adalah salah satu pulau kecil yang sering dijadikan tempat untuk menggelar berbagai event. Di pulau kecil ini dibangun sejumlah cottage dan bungalow yang pintunya langsung menghadap ke laut. Juga terdaapt play ground dan panggung hiburan. Katanya, pulau ini jadi tempat yang asyik untuk menikmati lampu-lampu kota Makassar di malah hari.

Setelah berjalan-jalan mengelilingi pulau yang pagi itu tampak sepi (apakah penghuninya masih pada tidur di cottage ya?), akhirnya kami kembali ke perahu. Di atas perahu yang membawa kami kembali, Baby Bindi tertidur, diterpa semilir angin pagi yang sejuk dan bikin mengantuk.

Monday, 29 November 2010

belajar multikultur sejak dini


buat saya, traveling itu bukan sekedar dolan tapi yang lebih penting adalah experience different culture. pada saat kita melakukan perjalanan, tinggal di suatu daerah yang memiliki kultur yang berbeda dengan kita, pasti mau tak mau harus beradaptasi dengan kultur lokal. meski cuma untuk beberapa hari saja.

saya dan baby bindi beruntung bisa tinggal di jogja, di kota yang multikultur. mau ketemu orang dari beragam etnis yang ada di indonesia, bisa dilakukan di jogja karena banyak putra daerah yang melanjutkan studi di kota pelajar jogja. selain itu, di jogja juga terdapat asrama-asrama mahasiswa dari semua propinsi. jadi bisa dibilang jogja adalah miniatur indonesia.

untungnya lagi, saya tinggal di dekat kraton, dekat tamansari di mana banyak turis-turis asing lewat depan rumah. ada turis rombongan pake bus-bus besar, ada pula turis bergaya backpacker yang menggendong ransel dan menenteng buku lonely planet.

sore-sore, saat lagi di luar rumah sama baby bindi, kadang ketemu turis-turis itu lewat. beberapa menyapa dan say hello sama baby bindi. saya lantas mengajari baby bindi untuk membalas sapaan mereka. buat saya, ini adalah salah satu pelajaran multikultur yang bagus dikenalkan pada si kecil. dengan sering bertemu orang dari beragam etnis, niscaya kelak ia akan menjadi anak yang nggak etnosentris dan mendukung keberagaman. amiinn...!

oh ya, selain di jogja, tempat belajar mengenalkan multikultur pada anak adalah di bali, terutama ubud. hingga umur setahun saya sudah dua kali mengajak baby bindi berlibur ke bali. kami tinggal di bungalow murah dan nyaman, di mana hampir semua yang menginap adalah bule-bule. biasanya mereka juga mengajak keluarga dan anak yang masih kecil. nah, baby bindi bisa main-main sama mereka.

foto di atas adalah salah satu dari aktivitas baby bindi saat berlibur di ubud. kolam renang yg tersedia di depan bungalow kami, ternyata jadi salah satu tempat untuk berkenalan dengan kultur lain. begitu nyebur di kolam, bindi dan anak bule perancis itu langsung akrab meski tidak saling berkata-kata.

lihatlah bahasa tubuh mereka. biar kulit dan rambut berbeda warna, tapi mereka bahagia bisa saling mendekat.

Monday, 25 October 2010

indira the explorer


terinspirasi kisah petualangan dora..
indira (baby bindi) the explorer

Friday, 8 October 2010

baby food on the go


Penginnya sih bisa bikinin fresh food sepanjang hari sepanjang masa buat Baby bindi. Tapi kalau lagi traveling dan nginep di hotel, mana sempat? Kalo disempet-sempetin emang sempet sih, tapi pasti ribet banget karena harus bawa alat masak dari rumah. Enggak mau lah. Mending travelingnya ditunda aja sampe si baby sudah tumbuh menjadi kid. Hehe...!

Menanamkan semangat petualang pada si kecil memang nggak semata-mata belajar ngajakin si kecil sering ke luar kota kok. Yang lebih penting justru mengubah mindset kita sebagai orang tuanya, bahwa traveling atau backpacking itu mau nggak mau memaksa kita berkompromi dengan berbagai keterbatasan. Kompromi ini berlaku pukul rata, biar bocah masih berumur bulanan juga musti bisa kompromi dengan keterbatasan. Nah, kalau kita belum siap mental, sebaiknya menunda agenda traveling luar kota dulu lah. Daripada nanti jadi stress diserbu berbagai pertanyaan dari kerabat dan teman-teman, "gila, jadi tiap hari anakmu cuma dikasih makanan instan dan air minum botolan?"

Buat saya, pertanyaan itu mirip dengan yang biasa dilontarkan kalau saya traveling sendirian, "kamu kan perempuan, kok traveling sendirian ke luar negri?"

Jadi, saya sudah lumayan kebal dengan komentar-komentar sejenis itu. Komentar yang nggak perlu ditanggapi, tetapi butuh dimaklumi. Maklum, masyarakat agraris memang belum menempatkan traveling sebagai kebutuhan. Berbeda dengan masyarakat industri di mana waktu luang dan rekreasi itu sesuatu yang harus diperjuangkan.

Makanan instan itu tidak buruk kok. Buktinya Baby Bindi tidak terganggu pencernaannya saat mengkonsumsi makanan instant selagi traveling. Makanan instan yang saya pilih adalah yang siap santap, yaitu makanan dalam botol kecil.

Ada beberapa merk makanan siap santap yang sehat dan aman yang biasa saya beli, antara lain Heinz, Babynat, dan Gerber. Seringnya sih Bindi makan Heinz. Rasanya nikmat dan manis, emaknya juga suka. Biasanya saya pilih Heinz yang buah-buahan. Sedangkan yang sayuran organik, saya pilih produk Babynat. Tekturnya sedikit kasar, tidak berasa manis dan asin. Nggak enak banget buat lidah orang dewasa, tapi malah cocok buat Baby Bindi. Sedangkan untuk rasa ayam dan daging, biasanya saya menggunakan produk Gerber.

Oh iya, selain makanan solid utama, saya juga sedia snack buat Bindi. Snack favoritnya adalah Gerber Graduates Puff dan Baby Choice.

Produk-produk makanan import itu tersedia di supermarket di kota besar. Jadi, waktu liburan ke Bali, saya nggak erlu bawa stok banyak-banyak dari Jogja. Cukup bawa 2 botol untuk jaga-jaga di perjalanan (eh, malahan di pesawat Baby bindi dapet paket baby food dari Garuda berupa 2 botol Heinz. Horeee...!!!) Begitu tiba di Bali, agenda pertama adalah belanja baby food dulu di supermarket.

Baby food botolan ini super praktis, langsung disuapin dari botolnya aja. Jadi, hemat energi, nggak perlu nyuci mangkuk segala. Hehe....!

yuks, ke candi....


Waktu saya masih balita (sekitar tahun 76-77), hampir setiap hari Minggu Bapak mengajak saya ke Candi Prambanan. Dari rumah kami di tengah kota Jogja, kami bermotor Honda Bebek seri 70. Sebelum sampai Prambanan, biasanya kami singgah di galeri Sapto Hudoyo. Saya masih ingat, tangan-tangan mungil saya suka banget megang-megang patung bergaya asmat yang tinggi menjulang di halaman galeri. Kadang-kadang Bapak mengangkat tubuh saya agar bisa meraih bagian patung yang lebih atas.

Setelah dewasa, saya sering mengaitkan pengalaman masa kanak-kanak berwisata di galeri seni dan situs arkeologis dengan ketertarikan saya pada bidang sejarah, antropologi, seni, dan arsitektur. Meskipun tidak sepenuhnya benar, tapi sedikit banyak saya yakin ada kontribusinya. Apalagi, waktu bocah porsi jalan-jalan saya sebagian besar memang ke tempat-tempat seperti itu. Ke kraton dan sekitarnya sudah pasti tiap hari karena dekat tempat tinggal kami. Lalu ke candi-candi di sekitar Jogja, ke semua museum yang ada di Jogja, juga main ke galeri seni yang kebetulan juga banyak di Jogja. Selain itu juga masih ditambah dengan kegiatan nonton berbagai seni pertunjukan, dari mulai wayang kulit hingga wayang wong.


Sekarang, kebiasaan itu saya tularkan pada Baby Bindi. Kebetulan Edo juga juga punya ketertarikan yang sama dan setuju bahwa wisata heritage juga layak dikenalkan pada anak-anak sedini mungkin. Jadilah setiap hari, pada pagi hari, selagi saya sibuk di dapur menyiapkan menu sarapan, Edo mengajak Bindi jalan-jalan ke Pulo Cemeti (Tamansari) atau Kemagangan (Kraton bagian belakang). Kadang-kadang saya juga ikutan sambil membawa semangkuk bubur buat sarapan Bindi. Seru juga loh, nyuapin Bindi di kawasan heritage.

Saat weekend, Sabtu atau Minggu, barulah kami wisata heritage yang agak jauh. Ke Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, atau situs-situs lain.


Pilih W
aktu: Pagi atau Sore
Sudah pasti kalo wisata candi bersama si kecil kudu milih waktu yang tepat, saat matahari tidak sedang tinggi-tingginya. Mungkin banyak yang nggak tahu bahwa loket karcis wisata candi biasanya buka pada pagi hari pukul 06.00 dan tutup pada pukul 17.00. Jadi kita bisa datang pagi-pagi saat matahari masih memancarkan sinar yang kaya vitamin D, atau saat senja menjelang. Loket ditutup pukul 17.00, tapi kita masih bisa jalan-jalan di dalam kompleks candi hingga pukul 18.00. Cukup teduh kan?

Baby Carrier
Biar si kecil nyaman selama diajak muter-muter kompleks candi, biasanya saya menggunakan baby carrier berupa ransel gendongan bayi. Ransel ini cukup nyaman buat Bindi, malah kalau kecapean dia bisa loh tertidur. Buat Emak dan Bapaknya yang nggendong juga nyaman, terasa lebih enteng, kayak nggendong ransel kalo lagi backpacking. Selain itu, ransel ini juga bisa berfungsi sebagai kursi. Kalo capek, saat kami beristirahat, ransel diturunkan dan diletakkan di atas permukaan datar. Si Bindi nggak perlu dikeluarkan dari ransel, karena dia udah serasa duduk aja di sana.

Kalau nggak punya ransel gendongan, saya sarankan pake gendongan bayi yang memungkinkan si kecil digendong menghadap ke depan. Biar si kecil bisa ikutan liat-liat kemegahan warisan nenek moyang kan?

Stroller? Hhmm..kayaknya malah merepotkan, mengingat bakal banyak undak-undakan dan jalan nggak rata.

Bekal Makanan
Paling asyik saat istirahat sambil buka bekal makanan. Kami biasa mengaso di tempat terbuka, di bawah pohon rindang. Sangat disarankan bawa tikar kecil atau alas duduk, biar si kecil bisa lebih leluasa beristirahat. Bisa guling-guling atau merangkak. Hehe...! Kalaupun kelupaan bawa alas duduk (seperti kebiasaan kami yang pelupa ini), bisa juga duduk di bongkahan batu candi yang permukaannya rata. Biasanya di tempat tertentu ada bertumpuk bongkahan batu candi sisa pemugaran yang belum ditata lagi. Asyik juga kok mengaso di sana.

Topi & Payung
Namanya juga jalan-jlaan di ruang terbuka, outdoor, ya jangan pake baju kecentilan dulu ah. Sebaliknya pake baju yang casual, mudah menyerap keringat. Biar nggak kepasan, jangan ketinggalan topi dan payung ya.

image (urut dari atas):
1 & 2 : kebangetan kalo nggak tahu..itu Candi Prambanan
3 : di Pulo Cemeti, Tamansari Water Castle
4 : Berlatar gapura Candi Ratu Boko...keren kan?

Thursday, 7 October 2010

why we travel


Percaya nggak percaya, waktu saya pamitan mau ngajakin Baby Bindi jalan-jalan ke Bali, mbok Nem nangis loh. Katanya, nggak tega ngebayangin Bindi diajak pergi naik pesawat trus di Bali cuma jalan dari satu tempat ke tempat lain. Nggak kebayang kayak apa nanti capeknya Bindi. Pasti nanti sepanjang jalan cuma rewel.

Saya nyengir dan tidak memberi komentar apapun. Saya memaklumi jika mbok Nem, yang orang kampung itu, tidak mengenal konsep "travel will teach us how to struggle in life". Bagi dia, traveling itu cuma buang uang dan bikin capek. Nggak ada untung-untungnya sama sekali. Harap maklum, itulah konsep traveling yang dipahami oleh masyarakat agraris seperti mbok Nem yang juga belum prnah naik pesawat.

Padahal, buat saya, ngajakin traveling Baby Bindi sejak dini memberikan banyak experience yang tak ternilai harganya. Nggak cuma buat bocahnya, tetapi juga buat kami berdua sebagai orang tuanya.

Oke, mari kita urai satu per satu kira-kira benefit apa yang bakal kita dapat dengan mengajak plesiran si kecil.

For Baby:
  • Belajar mengenal lingkungan baru yang lebih luas. Itu pasti dong. Saya masih ingat ekspresi kagetnya Bindi ketika malam itu di kamar hotel di Legian Bali saat dia terjaga minta mimik. Matanya langsung melihat sekeliling, mungkin merasa asing tidur di tempat yang nggak biasanya. Juga ketika dua hari kemudian kami pindah hotel di Ubud, dia lihat sekeliling kamar. Kok beda lagi ya, mungkin begitu pikirnya. Tapi karena ada Emak dan Bapaknya, Bindi pun tenang, nggak protes meski keheranan dengan suasana baru yang dilihatnya.
  • Bertemu dengan wajah-wajah baru (multietnik). Saya sengaja mengajak Bindi ke Bali, supaya banyak ketemu bule. Sebenarnya di Jogja juga sesekali liat bule lewat depan rumah, tapi kan nggak sebanyak di Bali. Nah, di Bali kesempatan untuk berada di antara bule -bahkan menjadi satu-satunya turis lokal- sangat mungkin. Di hotel tempat kami menginap di Ubud, malah cuma kami yang turis domestik. Serunya lagi, Bindi nggak takut liat badan-badang bongsor para bule. Malah bisa senyum-senyum juga ketika mereka say hello. Dengan mengenalkan ras dan etnik lain yang dilihat Bindi, saya berharap dia bisa bertumbuh menjadi manusia yang menghargai keberagaman.
  • Mencoba berbagai alat transportasi. Target utama saya saat liburan ke Bali adalah ngajarin Bindi naik pesawat. Penasaran aja, apakah Bindi bakal enjoy selama penerbangan atau malah nangis histeris seperti yang sering saya lihat di pesawat. Banyak loh, anak-anak kecil yang jadi rewel begitu masuk ke badan pesawat, terutama sebelum take off. Mungkin karena tekanan udaranya rendah, terus biasanya juga gerah karena AC-nya belum jalan. Alhamdulillah...bindi malah hore-hore tuh di pesawat, sampe dituduh pramugari udah biasa terbang.
  • Menguji stamina dan daya tahan si kecil. Namanya juga lagi traveling, nggak sempet deh bikin makanan bubur dan sayuran segar seperti di rumah. Selama traveling Bindi cuma makan baby food Heinz dan buah pisang. Susu botolnya pun enggak hangat lagi, karena hanya dicairkan dengan air mineral botolan. Maafkan Emakmu ya, Nduk. Tapi, beginilah hidup. Adakalanya harus survive dengan kondisi apapun. Syukur alhamdulillah, pencernaan bindi tetep sehat. Pup-nya normal, perutnya nggak kembung, dan yang jelas tetap fit selama 4 hari traveling. Bahkan, sampe di Jogja apa yang dikawatirkan mbok Nem tidak terbukti. Bindi tetap hore-hore ceria, nggak lesu kecapekan tuh.

For Parent:
  • Belajar mengelola waktu. Gila deh, sebagian besar waktu saya selama traveling habis untuk ngurusi 'ritual'-nya Bindi. Nyiapin makanan, mandiin, ganti diapers, mimik susu, menidurkan, dll. Akhirnya, destinasi jalan-jalannya pun juga nggak bisa banyak-banyak. Nggak apalah, toh kami udah biasa ke Bali. Kali ini ke Bali kan buat Bindi, bukan buat saya belanja-belanji.
  • Belajar mengelola emosi. So pasti. Ketika diburu ribet ngurusin Bindi, badan capek, bobok gak bisa nyenyak...kalau nggak belajar bersabar pasti acara traveling jadi runyam karena uring-uringan. Nah, kalo udah uring-uringan, kasihan si kecil kan? Jadi, kalo kita bisa menahan emosi selagi traveling dan tetap fun meski ribet, niscaya akan semakin mendewasakan kehidupan rumah tangga kami.
Itu tadi hanya sebagian kecil manfaat plesiran bersama si kecil. Oh ya, tapi yang harus digaris bawahi atau cetak miring dan cetak tebal adalah bahwa plesiran bersama si kecil ini dilakukan secara independent dan tidak membawa serta baby sitter.

stroller on the go


above: bindi's first stroller
below: the new one is smaller


Saya rasa sebagian besar orang tua berpendapat sama, bahwa stroller adalah travel gear pertama yang pengin dimiliki begitu punya baby. Saya pun begitu. Bahkan saya sudah sangat kebelet beli stroller sejak Baby Bindi usianya belum genap 2 bulan. Tapi kalo membeli stroller khusus newborn atau yang biasa disebut kereta bayi, palingan nggak bertahan lama kepake. Begitu Bindi lehernya udah kuat menyangga kepala dan udah mulai suka melihat sekeliling, kereta bayi udah gak cocok lagi.

Karena pengin ngirit, kami lantas membeli stroller yang bisa 'ngunduri gedhe' yaitu stroller yang difungsikan untuk baby yang sudah bisa duduk, tapi sandarannya bisa direbahkan. So far, stroller itu nyaman-nyaman aja buat Bindi. Cuma, setelah Bindi mulai diajak traveling ke luar kota, kok rasanya stroller itu kegedean di bagasi ya. Nggak slim dan kesannya nggak mobile gitu. Apalagi kalo ngeliat bule-bule yang dorong stroller imut buat anak batita (toddler) mereka. Eh, Bindi kan udah nggak newborn lagi, masih infant sih, tapi bentar lagi sudah toddler.

Untungnya, nggak cuma saya yang terganggu oleh hal ini. Edo juga. Itu berarti, jika suatu saat nemu stroller yang imut mungil dan cocok buat toddler, pasti nggak bakal berdebat untuk membelinya.

Kami pun jadi mulai rajin lirik-lirik stroller. Kalo ketemu ibu-ibu di mall yang dorong stroller, dari kejauhan udah kami perhatiin. Waktu di Bali, mata kami jadi nanar kalo liat bule dorong stroller mungil dengan penumpang toddler umur 2 tahunan. Sebenarnya si toddler udah bisa lari-lari, tapi biar jalannya bisa ngimbangin langkah kaki ortunya yang panjang-panjang, mendingan didudukin di stroller mungil aja. Juga ketika saya ke Eropa beberapa waktu lalu, ketemu banyak emak-emak bule yang mendorong stroller di mana-mana, di stasiun, di park, atau lagi nyebrang jalan. Gemes banget melihatnya. Mana strollernya keren-keren pula!

Setelah beberapa bulan menjadi pengamat stroller, akhirnya tanpa sengaja kami nemu stroller imut dan lucu yang harganya murah meriah (hhhmm...hanya 1/4 dari harga stroller pertama yang kami beli). Warnanya ijo tosca dengan rangka besi berwarna putih, bukan warna silver seperti kebanyakan stroller.

Pandangan pertama pada stroller yang kami temukan di Carrefour itu langsung berujung pada transaksi. Apalagi ternyata stroller itu nggak ada stock lainnya, tinggal satu-satunya. Artinya, nggak bakal ada yang nyamain atau kembarannya di Jogja. Setidaknya, itulah harapan kami. Seneng dong kalo punya barang yang nggak ada kembarannya. Berasa ekslusif gitu. Hehe...!

Tapi yang jelas, karena bentuknya slim dan mungil, stroller ini jadi pas banget didudukin bindi. Bandannya jadi nggak tenggelam karena kegedean stroller. Kesannya jadi mobile dan dinamis (halah..!) Selain itu, juga lebih ringkas, sehingga kalo traveling bakal lebih enteng.

"Cocok nih, buat nyusur jalan di Singapore," kata saya sambil melirik Edo. Yang dilirik cukup sadar diri, "kan kamu bilang nunggu kalo Bindi udah bisa jalan...!"

Iya ya..sekarang baru 'rambatan' alias belajar jalan sambil pegangan dinding. Moga-moga pas genap setahun akhir bulan Oktober ini Bindi udah bisa jalan yaaa... Supaya emak dan bapaknya bisa ngajakin terbang lebih jauh lagi...! Amiiin....!!!

Sunday, 5 September 2010

bikin passport si kecil


Setelah Baby bindi dinyatakan lulus ujian bisa terbang dengan tenang dan menyenangkan saat berlibur ke Bali beberapa waktu lalu, saya lantas semangat untuk bikinin Bindi passport. Emang mau ke mana lagi? Enggak tahu lah, sekedar persiapan, kali-kali ada promo AA biar bisa sigap untuk mendapatkan tiket promonya. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Maka, Baby Bindi pun musti sedia passport sebelum ada tiket promo AA. Hehe...!

Maka, berangkatlah saya ke kantor imigrasi untuk menyerahkan berkas pada hari Kamis siang, 26 Agustus 2010 lalu. Kebetulan antrean penyerahan berkas saat itu nggak rame. Hanya menunggu sekitar 5 menit, nomor saya sudah dipanggil. Dan sekitar 5 menit kemudian berkas saya sudah beres diteliti. "Sertakan surat keterangan domisili saat pemotretan nanti ya," kata petugas sambil memberikan girik untuk pemotretan hari Senin (30/8/2010). Karena Baby Bindi belum punya KTP, maka harus disertakan surat keterangan dari RT/RW hinggal Kelurahan dan Kecamatan.

Urusan RT/RW ini bikin saya rada-rada males sebenarnya. Tapi ya apaboleh buat. Untungnya, kok ya semua berjalan lancar. Malam itu juga saya sudah mendapt surat keterangan yang dicap pak RT dan RW. Besoknya Edo mruput ke kantor kelurahan dan surat itu langsung dicap petugas kelurahan. Habis itu lanjut ke kecamatan minta cap lagi. Dalam sehari urusan beres.

Hari Senin, saatnya pengambilan gambar pun tiba. Penginnya kami bisa mruput, pagi-pagi ke Imigrasi supaya antrean tidak terlalu banyak. Berdasar pengalaman, antrean foto memang agak lama dibanding antrean masukin formulir. Tapi, seperti biasa, pergi sama baby nggak semudah kalau mau pergi sendiri. Segala tetek bengek bekalnya musti disiapin dan dibawa.

Setelah menunggu sekitar 20 menit, nomor antrian Bindi ke loket 1 untuk menyerahkan girik pemotretan dipanggil. Saya menyerahkan berkas pada petugas berikut kekurangan surat keterangan domisili. Lalu disuruh nunggu lagi untuk dipanggil ke loket pembayaran sekitar 10 menit kemudian. Setelah membayar passport 48 halaman sebesar Rp 275.000,- masih menunggu lagi untuk dipanggil ke ruang foto.

Sambil menunggu, saya dan Edo ngajak main-main Baby Bindi yang pagi itu tampak ceria. Heran, dia selalu ceria kalu melihat hal-hal baru. Apalagi kalau ngeliat banyak orang, ngeliat wajah-wajah baru berseliweran. Bindi langsung lunjak-lunjak sambil teriak-teriak kegirangan. Meski begitu, sa
ya agak deg-degan. Pasalnya, pagi tadi Bindi belum pup. Kalo pup di kantor imigrasi kan bikin saya jadi makin ribet. Untung Bindi kompakan, dia baru pup dalam perjalanan pulang dan udah mendekati rumah.

Sekitar 30 menit menunggu, Bindi mendapat panggilan pemotretan. Inilah sesi yang kami nanti-nanti. Saya udah ngebayangin betapa petugas imigrasi nanti bakal dibikin repot mengambil gambarnya. Beneran, saat diberdiriin di kursi untuk pengambilan gambar, Bindi lunjak-lunjak kegirangan. Mungkin dia juga seneng liat mas-mas petugas imigrasi yang friendly dan sangat helpful itu. Saya yang megangi badannya sampe keringatan nahan gerakannya. Setelah beberapa kali pemotretan dan hasilnya nggak pernah pas, akhirnya saya nyerah. Gantian Edo yang megang ajah. Baru deh, setelah dipangku bapaknya, mungkin karena lebih kuat, Bindi jadi nggak heboh polahnya.

Tuesday, 24 August 2010

baby on board


pengalaman terbang pertama buat baby bindi, ternyata berlangsung sukses (jogja - denpasar). nah, saat pulangnya (denpasar - jogja) juga demikian. nggak nangis sama sekali, nggak ngrepotin, malah cengengesan terus loh...

padahal saat itu bindi menempuh perjalanan yang lumayan jauh..kami berangkat dari ubud sekitar jam 15.00 wita..entah kenapa jalanan di ubud macet banget, kami baru nyampe sukawati menjelang jam 16.00. sempet berhenti sebentar karena bindi pub (bagus nak..daripada pub di pesawat kan?)

menjelang jam 17.00 kami baru tiba di ngurah rai. setelah serah terima mobil sewaan dengan pegawai rental, kami baru masuk ke dalam buat check in sekitar pukul 17.30. pesawat boarding pukul 18.50 jadi masih bisa istirahat beberapa saat di lounge. oh ya, sekalian nyuapin bindi.

perjalanan jauh dari ubud sampe ngurah rai..ternyata gak membuat bindi protes tuh. di pesawat tetap ceria. hhmm..berarti bindi udah siap diajak terbang dengan jarak tempuh yang lebih lama dong...*siap2 hunting tiket promo AA nih* hehehe...

Sunday, 22 August 2010

mandi bebek...


inflatable bath up ini jadi barang yang wajib dibawa kalo baby bindi traveling. selain praktis dan ringkas, suasana mandi juga tetep menyenangkan buat bindi.

repotnya, kalo nginep di hotel, terkadang kami nggak tahu kira-kira kamar mandi di kamar hotel nanti seperti apa dan segeda apa. seperti waktu kami menginap di tune hotels legian. kamar mandinya imut, tanpa bath up alias hanya shower belaka. ditambah sedikit ruang untuk closet dan washtafel..

sempet bikin repot menempatkan si bebek kuning ini. setelah dijejalkan, akhirnya muat juga dimasukkin ke ruang shower (dgn pintu kaca), meski posisinya harus diagonal. hehe..

kalo foto2 di bawah ini sih diambil di kamar mandi jati homestay di ubud. asyik banget, kamar mandinya lluuaaasss, bersiiihh, dan bath up-nya juga guedee..

nina bobok tepi sawah


apa yang dicari para turis di bali? sawah dan suasanya yang masih terasa bali banget...

begitu nemu jati homestay rasanya udah males ke mana-mana. habis gimana? persis di depan kamar kami, membentang sawah yang ijo royo-royo...juga ada gemericik air sungai yang bagaikan alunan musik instrumental alami...trus, di seberang sungai kecil yang tertutup semak-semak itu, terlihat kolam renang milik komaneka resort . kalo sore..banyak bule2 berenang...dan saya cukup ngintip dari teras ajah..hahaaha...

nah, kalo malam hari...aneka binatang swah seakan berlomba paduan suara. kodok, jengkerik, saling bersahut-sahutan menyanyikan lagu kedamaian alam..

ditambah remang cahaya dari lampu-lampu yang ditata cantik di kolam renang komaneka..menghabiskan malam di teras jati homestay ini udah serasa nginep di hotel berbintang deh...! nggak cuma bintang lima..tapi bertabur banyak bintang. karena begitu kita mendongakkan kepala, melihat langit di atas..berkerlip bintang indah sekali. kebetulan pula, malam itu sedang bulan sabit. lengkap sudah keindahan ubud yang kami reguk.

Saturday, 21 August 2010

bocah penggali sumur pantai


kebetulan hotel tempat kami menginap hanya sekitar 5 menit jalan kaki dari pantai legian (berbatasan dengan seminyak). pagi-pagi stl bangun tidur, kami ajakin bindi jalan-jalan ke pantai yang masih lengang, hanya ada beberapa bule yang jogging...

iseng-iseng kami turunin bindi ke pasir yang basah. lha dalah, bocahe langsung sibuk serasa nemu mainan baru. haduh...padahal kami gak berencana berbasah-basah pagi itu. jadi gak persiapan bawa handuk segala macem. yo wis, sak karepmu nduk..nikmati saja legian yang segar di pagi hari...(parangtritis kotor je..mending di sini ajah...hahaaha)


begini aksi bocah penggali sumur pantai


motret bindi pake ponsel cybershot

Thursday, 19 August 2010

bali bikini session


kalo bukan karena pengin ngajakin baby bindi main air laut...males banget ke kuta. pertama, sebenarnya saya kurang tertarik dengan pantai. kedua, buat saya pribadi bali adalah ubud, jadi kuta nyaris nggak pernah masuk itungan. walopun udah berpuluh kali ke bali, kayaknya saya sengaja ke kuta baru 2 atau 3 kali, waktu masih smp dan sekitar th 97.

tapi demi baby bindi..sore itu kami sengaja ke kuta. ternyata bindi nggak takut sama pasir dan air laut. begitu diturunin dari gendongan, dia udah sibuk sendiri meremas-remas pasir pantai kuta. begitu ada ombak datang, pertamanya dia cemberut karena kedinginan. habis itu, ombak-ombak berikutnya bindi sante aja tuh menyambutnya. sampe kemudian tiba-tiba ada ombak gede yang menerjangnya, bindi pun tersungkur jatuh keterpa ombak. saya langsung menyambarnya..hiks, ternyata saya juga sempet terjatuh. jadilah basah kuyup..2 ponsel yg ada di tas pinggang pun terendam air laut..huks..huks..sampe hari ini masih mlempem gak bisa nyala...! hhooaaaa.....belikan aku iPhone..!!!!!! wakakaka...

(more pics just click here)

Monday, 2 August 2010

heboh h-14


long weekend agustusan nanti, kami berencana ngajakin baby bindi traveling ke bali. target utamanya sih ngenalin alat transportasi yang bernama pesawat. bindi mau belajar terbang...hehehe...! target kedua, mulai mengenalkan bindi pada nature & culture yang berbeda alias ngajakin backpacking.

ternyata, ngajakin bocah umur 9 bulan buat backpacking, persiapannya bikin heboh. sejak awal agustus, dua minggu sebelum keberangkatan, kami udah memastikan bahwa tiket pesawat dan hotel sudah confirmed. lalu saya menghubungi rental mobil langganan karena kami pengin ngajakin bindi ke ubud. lebih irit nyewa mobil yang disopirin sendiri daripada naik taksi atau nyewa mobil lus sopir.

karena nyopirin sendiri dan bakal menempuh perjalanan ratusan kilometer, kayaknya bindi bakal nyaman kalo duduk di car seat-nya.selain bocahnya nyaman, emak dan bapaknya juga bisa gantian nyopir kalo kecapean. sialnya, sampe hari ini saya belum nemu rental baby car seat di bali (ada yang bisa kasih info kah?).

sebenarnya ada rental baby equipment di bali yaitu bali baby..tapi tarifnya AUS$. sempet juga reservasi ke sana untuk nyewa car seat 2 hari aja (per hari AUS$ 10), tapi mendapat informasi via email bawah minimal peminjaman adalah 5 hari yang berarti saya tetep harus bayar AUS$ 50 atau seminggu sekalian AUS$ 56. lha kalo sedolar ostrali itu sekitaran 8ribu rupiah, berarti saya musti bayar sekitar Rp 400.000,- dong! hiks..mendingan bawa car seat dari rumah!

sambil masih mencari-cari car seat rental di bali, saya dan edo mulai ngelis travel gear-nya baby bindi: ransel gendongan, stroller, feeding set (botol susu dan alat makan), inflatable bath up (bisa ditiup..dan berarti musti bawa pompanya hiks..), dll..dll...

"jadi kira-kira bagasi kita nanti berapa kilo ya?" tanya edo. saya tertawa, menertawakan diri sendiri yang terbiasa "backpacking lite". kali ini must forget the size and weight deh kayaknya..

Wednesday, 7 July 2010

baby travel gear


Baby Carry Out (BCO)

Inilah travel gear pertama yang dimiliki Baby Bindi. Saya membelinya sekitar 2 minggu sebelum kelahiran Bindi. BCO termasuk barang yang kala itu saya anggap sebagai 'must buy' selain kebutuhan standar newborn. Lucu banget ngebayangin ada bayi mungil yang terselip di dalam keranjang, lalu
diletakkan di jok mobil belakang, dan saya menjagai di sisinya. Belum-belum saya udah ngebayangin Bindi bakal sering diajak jalan-jalan nih.

BCO akhirnya kepake waktu Bindi keluar dari rumah sakit beberapa hari setelah kelahirannya. Yang kedua, seingat saya, dipake waktu waktu mau imunisasi. Setelah itu, nggak pernah dipake lagi karena Bindi mulai menunjukkan gelagat nggak nyaman di keranjangnya. Ya wis, terpaksalah BCO berubah fungsi, buat nyimpen selimut, mainan, dll. Untung ada temen yang lahirin baby 3 bulan kemudian. Jadilah BCO dihibahkan un
tuk temen saya. Saya bilang padanya, "ini buat bobokin baby saat pulang dari RS."

Stroller
Belum g
enap usia 2 bulan, saya sudah bernafsu membelikannya stroller. Waktu itu Edo kurang setuju, katanya entar aja nunggu agak gede dikit. Ternyata stroller itu beragam jenisnya. Ada stroller yang emang khusus buat newborn atau biasa disebut kereta bayi. Stroller jenis ini masa kepakenya palingan cuma 3-4 bulan. Setelah baby mulai gede, apalagi bisa duduk sendiri, jadi kelihatan aneh kalo pake kereta bayi. Ada juga stroller yang didisain bisa digunakan sebagai kereta bayi maupun untuk baby yang sudah bisa duduk. Tapi menurut pengamatan kami, bentuknya nggak manis.

Se
telah menimbang-nimbang, sementara hasrat pengin punya baby stroller udah nggak bisa ditahan lagi, akhirnya kami memilih stroller dewasa. Eh, maksudnya, stroller yang sebenarnya difungsikan untuk baby yang sudah bisa duduk. Tapi sandarannya bisa direbahkan, untuk bobokan, walaupun tidak ada list tepi yang melindungi sisi kanan kiri bayi.

Ternyata Bindi emang kelihatan mungil banget
dengan stroller dewasanya. Stroller-nya jadi terkesan kedodoran. "Wis ra papa, ngunduri gede," kata saya.

Ketika Bindi masuk 3 bulan dan lehernya sudah cukup kuat menyangga kepalanya sendiri, kami menegakkan sandaran stroller dan mendudukkan Bindi di atasnya. Wow, ternyata udah nggak terlalu kedodoran! Bindi juga kelihatan lebih lucu duduk di strolle
r dan kedua bahunya diikat sabuk pengaman.

Car Seat
Tak berapa lama setelah Bindi bisa duduk nyaman di strollernya dan mulai banyak diajak keluar buat jalan-jalan, kami menghadiahinya car seat. Ternyata Bindi nggak betah berlama-lama di car seat-nya. Palingan cuma 15 menit duduk udah gelisah minta diangkat dan dipangku. Mungkin karena dia belum bisa duduk nyaman ya, sehingga kalo kelamaan bersandar dan ruang geraknya terbatas, jadi nggak betah. Setelah beberapa kali mendapat penolakan, akhirnya kalo jalan-jalan nggak pake car seat lagi.

Kebetulan car seat ini bisa difungsikan juga sebagai tempat duduk atau kursi goyang yang bisa diayun pelan. Jadi barang ini masih bisa difungsikan untuk ngajarin Bindi duduk atau main-main sambil diayun-ayun.

Car seat ini baru mulai berfungsi sebagai mana mestinya ketika Bindi udah bisa duduk yaitu sekitar umur 6 bulan. Setelah bisa duduk sendiri, ternyata dia jadi nyaman di car seat-nya. Apalagi kalo udah disodorin mainan. Di perjalanan ditanggung nggak bakalan rewel, bahkan kalo kecapean main dia bisa tertidur di car seat loh.

Ransel Gendongan
Meskipun kami bukan pendaki gunung, tapi karena suka jalan-jalan 'blusukan'...ransel gendongan bayi menjadi impian saya sejak Bindi belum lahir. Mungkin karena saya udah sering lihat backpacker bule yang menggendong bayinya dengan ransel khusus ini, saya pun jadi pengin ikutan.

Rupanya nggak gampang mendapatkan barang ini, apalagi di Jogja. Malah saya nemunya nggak sengaja, ketika main kano dan mampir ke toko outdoor milik temen, eh ada ransel gendongan dipajang. Langsung aja saya beli.

Oh ya, waktu itu Bindi usinya hampir 7 bulan. Badannya masih sedikit tenggelam di ransel itu, tapi dia nyaman di gendongan. Malah kadang-kadang kalo diajak jalan kelamaan jadi ketiduran di atas gendongan.

Usia 7 bulan ternyata usia yang cukup kooperatif buat si baby untuk diajak jalan-jalan 'blusukan'. Kami pun jadi makin sering ngajakin Bindi jalan. Hampir tiap hari Minggu kami punya jadwal trip with Baby Bindi. Karena saya suka wisata heritage, Bindi pun jadi sering diajakin ke situs-situs arkeologis. Ke Tamansari (hehehe..yang ini dari jaman masih newborn juga udah rutin karena deket rumah), ke candi Ratu Boko, ke candi Prambanan, dan sederet situs lain yang sudah ada dalam agenda Bindi's trip. (to be continued)

Sunday, 21 March 2010

plesiran pertama...


Untuk pertama kalinya saya mengajak Bindi (4 bln) ke luar kota (baca: desa) dan menginap. Desa yang kami tuju adalah desa kelahiran ayah saya, sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 6 km dari kota kabupaten Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah. Dari Jogja, jaraknya kurang lebih 130 km atau sekitar 4 jam perjalanan (sudah termasuk mengaso sejam di Solo) dengan mobil pribadi.

Sehari sebelum kami melakukan perjalanan, saya sudah dibuat cukup repot dengan berbagai bekal yang harus dibawa Bindi. Sebagai orang yang terbiasa ringkas selagi bepergian (apalagi cuma semalem), pekerjaan packing-mempacking barang-barang Bindi ini membuat saya terpana sendiri.

Inilah daftar bawaan yang saya bawa ketika ngajak Bindi menginap di rumah keluarga Eyang Kakungnya:

  • Pakaian : 2 set baju ganti di perjalanan (tidak termasuk baju yang dikenakan saat berangkat dan pulang), 2 set baju ganti sehabis mandi sore (kami hanya menginap semalam), dan 2 set baju tidur, topi, celemek makan, selimut, handuk
  • Alat Centil : botol-botol cairan buat mandi, minyak rambut, baby cologne, minyak telon, minyak anti nyamuk, 1 pak pampers isi 12, 1 pak tissue basah, 1 travel pack tissue wajah, 1 pak kapas gulung buat cebok
  • Mainan: beruang teddy dan beberapa mainan yang colorfull dan bisa digigit-gigit, dan buku bacaannya (hihii..buku bayi yg terbuat dari kain itu loh)
  • Feeding set: susu formula, bubur cerelac, piranti makan, 5 botol susu kecil (50 ml), alat sterisasi, termos kecil, botol air putih
  • Perlengkapan tidur: 2 bantal dewasa, 2 guling dewasa, (buat magerin Bindi, soalnya kalo bobok suka muter2) 1 guling baby, 1 bantal baby, 1 bed cover ukuran single (buat alas, takutnya nanti Bindi ngotorin sprei sodara kan gak enak)
Amppuunnn..saya sudah langsung geleng-geleng melihat tumpukan barang bawaan Bindi sebelum dimasukkan ke mobil. Bahkan, bagasi mobil Blazer saya yang maha luas itupun terasa sesak deh.

Moga-moga ini hanya karena 'pengalaman pertama'. Next trip will be lighter..hehehe...