Pages

Monday, 21 February 2011

no shower, bathup please...

Bath time is fun
Begitu punya momongan dan ngajakin Baby Bindi traveling, ternyata saya harus merombak kebiasaan saya dalam mencari akomodasi/hotel di suatu daerah. Biasanya, saya nggak pernah booking hotel duluan jika bepergian di Tanah Air. Saya lebih suka beli voucher hotel di bandara kota tujuan karena harganya seringkali lebih murah. Lumayan kan irit 50ribu - 100ribu, bisa buat ongkos taksi dari bandara. Kalau di bandara nggak ada agent hotel, barulah saya menelpon sejumlah hotel yang daftarnya sudah saya siapkan duluan. Buat saya yang sudah terbiasa jalan sendiri, hotel jenis apapun nggak masalah, yang penting lokasinya nggak terlalu jauh dari target kunjungan saya ke kota tersebut.

Sekarang, jika plesiran bareng Bindi, reservasi beberapa hari sebelum hari H hukumnya jadi wajib. Kebersihan dan kenyamanan kamar hotel juga menjadi prioritas. Bahkan luasan kamar juga sering saya pertimbangkan supaya Bindi juga bisa main-main di kamar hotel sambil disuapin makanannya. Fasilitas hot water itu juga wajib karena Bindi belum bisa mandi dengan air dingin kecuali jika lagi berenang di kolam terbuka. Belakangan, saya punya request khusus, minta kamar dengan bathup bukan shower.


Permintaan terakhir ini berdasar pengalaman banyaknya shower di kamar hotel yang kadang semburan airnya nggak bisa diatur. Malah, saya pernah menginap di kamar hotel bintang tiga tapi semburan airnya terlalu kenceng sehingga badan saya berasa kayak orang ditampar sewaktu mandi. Ampun deh! Saya nggak mau bermain spekulasi lagi jika ngajak Baby Bindi. Bathup jadi pilihan utama. Atau malah bak mandi tradisional, seperti di rumah saya, is better than shower. 


Dan bathup is the best karena akan lebih nyaman buat si kecil. Apalagi jika disiapin mainan air teman mandi. Mandi pun jadi kegiatan yang menyenangkan buat si kecil meski sedang traveling nun jauh di rantau.

Tuntutan fasilitas ini sudah pasti berimplikasi pada budget. Anggaran kamar hotel per malam jadi membengkak dua kali lipat dari tarif hotel yang biasa saya inapi jika jalan sendiri. Jika tadinya saya merasa nyaman dengan kamar seharga 150an ribu (kalau di Ubud -Canderi- malah cuma 50ribu), sekarang saya harus mencari kamar bertarif rata-rata 400ribu untuk mendapatkan kenyamanan itu. Apa boleh buat.



Wednesday, 2 February 2011

ayo jelajah nusaraya..!

Losari Beach, Makassar

Bertempat tinggal di kota wisata nomor 2 di Indonesia, Yogyakarta, terkadang membuat saya jadi bingung mencari destinasi liburan long weekend, selain ke Ubud Bali. Di saat yang lain pengin long weekend-an di Jogja, saya enaknya ke mana ya? Ke Bandung? Ah, males wisata fashion. Ke Malang? Pengin sih, tapi mendingan nanti aja kalo Baby Bindi udah jadi kid alias udah gedean. Ke Jakarta? Kayaknya kok nggak keren liburan ke Jakarta. Hehehe...!


Liburan ke luar negeri? Bindi memang sudah punya passport dan sudah punya tiket promo Air Asia untuk ke Singapore bulan April 2011 nanti. Selain Singapura, negara tetangga yang baby friendly alias nyaman buat jalan-jalan sama si kecil, kayaknya kok nggak ada. Hong Kong? Oke juga sebenarnya, tapi kejauhan kalo buat long weekend 4D3N. Kuala Lumpur? Itu juga mirip-mirip Jakarta. Paling nanti ke Petronas dan main di mall atau liat aquarium di KLCC. Ke Bangkok? Hhmm... enggak worth buat Bindi deh kayaknya. Negara-negara tetangga lain dari tiga yang saya sebut jauh lebih nggak nyaman kondisinya buat jalan-jalan bawa anah umur 15 bulan.


Setelah saya renung-renungkan, ternyata memang Jogja is the best kok. Weekend-an jelajah candi-candi pasti seru dan nggak ada habisnya. Hobi ini sudah kami lakukan sejak Baby Bindi umur 6 bulan dan sempet terhenti setelah Merapi meletus. Padahal kami belum sempat ke Borobudur. 


Selain 'jajah Jogja milang kori" (jelajahi kota Jogja), target jalan-jalan jauhnya Baby Bindi adalah ke luar pulau Jawa, biar lebih kenal beragam Budaya Nusantara. Ke Bali sudah dua kali. Pengin ke timurnya lagi, ke Lombok suatu saat nanti. Ke Makassar sudah pernah sekali. Kapan-kapan pengin dilanjut ke Pare-Pare nengokin adiknya Edo yang bertugas di sana sekalian wisata budaya ke Toraja. Sebenarnya waktu ke Makassar kemarin sudah merencanakan hal ini, tapi karena butuh waktu liburan minimal seminggu, saya lantas menundanya. Ke Borneo? Pengin sekali ngajakin Baby Bindi ke pedalaman Kaltim, tinggal di rumah panjang (lamin) suku Dayak. Saya kan pernah tinggal di sana selama sebulan jaman jadi mahasiswa Antropologi dulu. Semoga suatu hari angan ini terwujud.


Saya juga pengin ajak Baby Bindi ke belahan Borneo lain, ke Pontianak. Kebetulan ada kerabat yang barusan dipindah tugas ke Pontianak awal Januari 2011 lalu. Tadinya juga, long weekend imlek ini pengin ke sana. Tapi karena ada deadline pekerjaan dan tiketnya jadi melejit karena etnis Tionghoa di Pntianak dan Kalbar pada imlekan. Ya sudah ditahan saja, masih bisa kapan-kapan kok.


Eh ndilalah, kok ya tadi pagi sahabat saya kirim inbox mengabarkan rencana pernikahannya. Sahabat saya itu, asalnya dari Banjarmasin. "Acaranya di Banjar bukan? Kalau di Banjar aku mau dateng sekalian ajak Baby Bindi." Balas saya bersemangat. Semangat yang full power, lha wong barusan nyalain komputer pagi-pagi di kantor, login ke FB, dan menemukan notifikasi di inbox. Sambil berbalas-balasan lewat inbox, saya membuka website Lion Air yang melayani penerbangan direct Jogja - Banjarmasin (dulu ada Mandala). Juga nelpon Edo menyampaikan niatan ini yang langsung di-acc. Nggak sampe 15 menit kemudian, saya kirim konfirmasi e-ticket itu ke sahabat saya sambil mengancam, "awas kalo gak jadi kawinan tanggal itu!" Malah dia yang shock karena nggak nyangka dalam waktu sekejap saya sudah punya tiket bertuliskan nama saya, Edo, dan Baby Bindi. Belum tahu dia, ya begini inilah yang disebut gayung bersambut.


So, Baby Bindi is going to South Borneo at the end of this month.

*

Tuesday, 1 February 2011

touch the animals experience

Pengin ngelus the lion king
Baby Bindi mulai memperlihatkan ketertarikannya pada binatang ketika usianya jalan 10 bulan. Bindi mulai suka nunjuk-nunjuk ke arah anjing tetangga yang sering lewat di depan rumah kami. Nggak cuma nunjuk-nunjuk, tapi juga maksa minta ngikutin ke mana anjing itu berjalan. 

Sebenarnya nggak cuma anjing aja sih yang dia suka. Semua binatang yang ditemuinya di sekitar rumah, selalu membuatnya kegirangan. Apalagi jika binatang itu nggak cuma diam, tapi bergerak. Ayam, kucing, burung, dan cicak adalah binatang-binatang yang dapat dengan mudah ditemuinya di sekitar rumah. Bindi juga udah mulai pinter memainkan jari-jarinya memanggil burung dan ayam.


Lalu, saya dan Edo pun mulai merencanakan trip ke kebun binatang. Ke Gembira Loka, kebun binatang terbesar di Indonesia. Hehe...! Tapi, kami selalu gagal ke Gembira Loka, padahal kan nggak jauh dari rumah. Pernah suatu kali, saat libur lebaran, kami sudah sampe depan Gembira Loka, tetapi begitu melihat parkirannya penuh, rasanya jadi maleesss...! Jangankan libur lebaran, pada akhir pekan saja parkiran Gembira Loka bisa dipastikan penuh. Banyak rombongan sekolah dari daerah lain yang melakukan study-tour. Ternyata susah juga ya mau piknik di kota sendiri.


Akhirnya kami merencanakan trip lain. "Gimana kalo kita ke Bali Bird Park?" usul saya yang langsung disambut dengan girang oleh Edo. Jelas dong, soalnya sebenarnya kami pun sejak lama sudah beberapa kali gagal mau mampir ke Bali Bird Park setiap liburan ke Ubud. Adaa aja yang bikin kami nggak jadi singgah di sana. 


Sekarang mumpung sudah punya Baby Bindi, nggak boleh lagi dibatalkan. Bahkan trip kami ke Bali kali ini, saat usianya Bindi hampir 12 bulan, khusus buat Bindi mengenal binatang. Kami sisihkan waktu seharian hanya buat main-main ke Bali Bird Park, Reptile Park, dan Bali Zoo. Kebetulan pula lokasinya berdekatan, sehingga kami bisa full day di ketiga tempat itu dari pagi hingga sore.

Elus yang ini aja, nduk
Beneran lho, Bindi terlihat begitu menikmati aneka satwa yang ada di sana. Semua binatang penginnya disentuh. Bahkan singa yang lagi mengaum-aum kelaparan aja pengin dipegang. Hehe..tentunya cuma megang di kaca sebagai pembatas. 

Karena Bindi tidak memperlihatkan ketakutan pada binatang, kami jadi nggak ragu-ragu untuk mendekatkan tangannya pada binatang-biantang tertentu yang jinak. Seperti pada iguana, kura-kura, dan burung rangkok. Oh ya, juga saat di Bali Zoo resto ada atraksi binatang-binatang buas yang sudah jinak. Banyak anak-anak bule yang pada berfoto. Baby Bindi nggak mau ketinggalan dong, ikutan foto berkalung ular. Hihiii...!


Oh ya, beberapa waktu lalu, kami akhirnya berhasil dolan ke Gembira Loka. Saya baru sadar, di gapura bagian depan ada baliho besar bertuliskan Gembira Loka Zoo. Hahaha, pake 'zoo' memang terlihat lebih keren kali ya? 


Gembira Loka Zoo memang sudah beda dengan apa yang saya nikmati sewaktu bocah dulu. Saat ini sudah ada Reptile Park yang menampilkan koleksi berbagai reptile dari berbagai dunia. Ada juga aneka kodok dari aneka bangsa. Lucu-lucu ragamnya. Sayangnya, karena tempatnya yang terlalu luas dan sudah pasti butuh biaya renovasi yang muhaal, belum semua bagian mendapat sentuhan baru. Padahal untuk bisa menikmati area seluas itu, pengunjung butuh tempat rindang atau shelter jika tiba-tiba hujan. Bahkan juga butuh moda transportasi tertentu di dalam kebun binatang supaya yang kecapean jalan bisa naik ke shuttle bus atau kereta mini atau apapun namanya.


[more image please click here]