Pages

Sunday, 4 September 2011

horse riding

naek kuda @bandungan, ambarawa
Kuda adalah salah satu binatang yang cukup diakrabi Bindi. Kebetulan tak jauh dari rumah kami ada pangkalan andong (delman), sehingga hampir tiap hari Bindi melihat kuda. Kadang-kadang kami juga mengajaknya berandong ria, sambil menyanyikan lagu "naik delman istimewa kududuk di muka..."

Selain mengakrabi andong-andong yang mangkal di dekat rumah, Bindi juga pernah beberapa kali kami ajak main ke kandang kuda milik keluarga pengusaha Mirota Batik. Kandang kudanya terletak di bagian belakang rumah makan House of Raminten di bilangan Kotabaru. Kudanya banyak, kalo nggak salah lebih dari empat ekor. Sudah begitu gede-gede pula.

Thursday, 25 August 2011

roadtrip: mudik bersama si kecil

ngedot nikmat di car seat
Meskipun kami bukan mudiker karena saya dan Edo sama-sama orang Jogja yang betah banget menetap di Jogja, tapi setiap lebaran H+3 kami juga melakukan perjalanan ke luar kota untuk menghadiri acara pertemuan keluarga besar ayah saya. Nggak jauh-jauh banget sih, hanya seputaran Jawa Tengah. Ke Semarang, Ambarawa, Salatiga, atau pulang kampung ke desa kelahiran ayah di Purwodadi Grobogan. Jarak tempuh dari Jogja paling jauh sekitar 150 km.

Dalam kondisi normal, jarak sejauh itu paling lama kami tempuh dalam waktu 4 jam perjalanan. Tapi pada hari raya, di mana jalur Jogja - Semarang termasuk jalur padat mudiker, kami bisa menempuhnya hingga 7 jam! Tahun lalu, saat acara pertemuan keluarga di Salatiga, waktu tempuh Jogja - Salatiga yang biasanya sekitar 2 jam menjadi 5 jam perjalan. Padahal, kami sudah memilih jalur alternatif, lewat Jatinom Klaten yang langsung nembus ke Boyolali kemudian ke Salatiga.

Thursday, 18 August 2011

train trip

Kereta eksekutif Madiun Jaya mulai beroperasi Juni 2011

Kayaknya sih, kereta api adalah moda transportasi yang sangat dikagumi oleh anak-anak. Barangkali karena gerbongnya yang panjang dan mengeluarkan bunyi yang aneh, berbeda dengan suara kendaraan bermotor, dan juga punya jalan sendiri berupa batangan besi panjaaangg banget. Anak-anak pun jadi terkesima ketika melihat kereta itu melintas di depan mata. Jangan heran jika di lintasan kereta api dekat jembatan layang Jogja, nggak jauh dari stasiun Lempuyangan, banyak orang tua yang mengasuh anak balita di sore hari. Termasuk saya dan Baby Bindi. Hehe...!
 
Saya memang suka mengajak Bindi nonton kereta api sambil nyuapin. Selain di lintasan kereta Stasiun Lempuyangan, seringnya saya mengajak Bindi ke Stasiun Tugu yang lebih bersih dan luas. Jadi Bindi bisa berlarian dengan riang sambil menanti kereta datang. Begitu kereta tiba, ia akan berteriak kegirangan sambil melambai-lambaikan tangannya yang mungil. "Kreta apii..kreta apiii...tuiiitt..ttuuiiittt..tttuuiiitt...!"

Setelah beberapa kali nonton kereta, juga sering nonton tayangan Chuggington, film animasi dengan karakter kereta seperti Thomas, saya pun mengajak Bindi plesiran naik kereta Prameks dengan rute Jogja - Solo beberapa hari lalu.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Bindi naik kereta api. Saat usianya 13 bulan (November 2010), saya pernah mengajak Bindi ke Jakarta dengan kereta api dalam keadaan terpaksa. Terpaksa karena paska erupsi Merapi bandar udara Adisucipto sempat ditutup lebih dari dua minggu. Semua penerbangan dari dan ke Jogja dialihkan ke bandara Adisumarmo Solo dan bandara Ahmad Yani Semarang. Keterpaksaan lain, kondisi udara di Jogja masih berdebu, jadi mumpung saya lagi ada acara di Jakarta nggak ada salahnya ngajakin Baby Bindi sekalian. Itung-itung ngungsi sebentar, biar bisa menghirup udara yang lebih bersih (gara-gara erupsi Merapi,  udara Jakarta jadi lebih segar ketimbang Jogja!)

Dalam perjalanan Jogja - Jakarta dengan kereta Argo Dwipangga selama hampir 9 jam itu Bindi nggak rewel, bahkan bobok pulas di dada saya. Meski begitu ia belum bisa menikmati serunya naik kereta api karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Baru beberapa menit kereta bergerak meninggalkan Jogja, Bindi sudah tertidur karena memang saatnya dia tidur malam. Begitu juga saat perjalanan pulang dari Stasiun Gambir ke Satasiun Tugu, belum naik kereta Bindi sudah tidur karena sudah lewat jam sembilan malam (kereta telat sekitar 2 jam saat itu).

Beberapa bulan setelah pengalaman pertama naik kereta malam itu, saya baru sempat mengajak Bindi nyobain naik kereta lagi meskipun cuma jarak dekat, satu jam perjalanan dengan kereta Prameks. Hari Sabtu siang itu kami sungguh beruntung karena bisa mencicip kereta eksekutif yang baru sebulan beroperasi, yaitu kereta eksekutif Madiun Jaya. Kereta ini melayani rute Jogja - Madiun sehari sekali dan rute Jogja - Solo sehari dua kali.

Siang itu kami tiba di Stasiun Tugu sekitar pukul 12.50 menit. Saat menengok jadwal kereta Jogja - Solo, ternyata ada pemberangkatan pukul 13.00. Segera kami berlari menuju loket untuk membeli tiket. Saat akan membayar, ternyata uang dua puluh ribuan yang kami sodorkan kurang untuk tiket 2 orang. "Lho, bukannya tiket Prameks per orang Rp 9.000?". Petugas loket tersenyum dan menginformasikan bahwa kami mengantri untuk kereta eksekutif dengan tarif Rp 20.000 per orang. Kami jadi terbelalak, ketinggalan berita nggak tahu kalau sekarang ada kereta eksekutif.

Saat naik ke gerbong kereta berwarna biru itu, saya makin terbelalak. Keretanya kereeenn..! Gerbongnya dingin pake AC, juga bersih, dan kursinya empuk (malah masih ada yang terbungkus plastik). Sudah begitu, kereta dengan kapasitas 500 orang itu lagi nggak banyak penumpang. Malah di gerbong yang kami tumpangi, nggak lebih dari 8 orang penumpang. Tentu saja Bindi ikutan girang karena gerbong yang lapang bisa membuatnya bebas hilir mudik dan berpindah tempat duduk.

Di sepanjang jalan, Bindi menikmati pemandangan dari jendela kaca yang lebar. Saat kereta mulai bergerak meninggalkan Stasiun Tugu dan melintas di atas Kali Code, Bindi berseru kegirangan. "Kaliii Cooddeee...!" Teriaknya sambil terus mengamati ke bawah. Jangan heran, Bindi memang sangat mengenal Kali Code. Nama sungai itu pertama saya kenalkan saat banjir lahar dingin di Kali Code. Sejak itu, setiap melihat jembatan dan sungai, Bindi selalu menyebutnya Kali Code. Juga ketika kami jalan-jalan ke Singapore River, Bindi menyebutnya Kali Code. Hehee...!

Jika bosan melihat pemandangan dari jendela kaca, Bindi turun dari tempat duduknya dan mengajak jalan-jalan menyusur gerbong. Saat akan melewati pintu penghubung gerbong, kakinya agak takut-takut melangkah karena bidang yang dipijaknya bergoyang-goyang.

Setiba di Solo kami hanya mencari makan siang di Solo Grand Mall lalu kembali lagi ke Stasiun Purwosari untuk naik kereta Prameks ke Jogja. Perjalanan pulang ini kami naik kereta Prameks reguler non AC dan berpenumpang padat. Kebetulan kami dapat tempat duduk di dekat pintu. Rupanya, saat kereta berjalan,  penumpang yang tidak mendapatkan kursi memilih duduk lesehan di area dekat pintu. Jadilah persis di bawah kaki saya, banyak orang yang menggelesot duduk. Bikin Bindi nggak bisa leluasa bergerak. Meski begitu, Bindi tampak enjoy. Malah bisa bercanda dengan penumpang yang gemes melihat tingkahnya.

Jadwal Kereta Prameks per Juli 2011

(jadwal kereta dicomot dari sini)

Wednesday, 17 August 2011

little indiana jones


Bindi di Candi Prambanan

Jalan-jalan di Candi Sambisari
Kami mulai mengajak Baby Bindi berwisata arkeologis setelah usianya 8 bulan ke atas. Saat itu Bindi sudah bisa duduk sendiri dengan nyaman dan sudah mulai tampak menikmati perjalanan. Bindi juga sudah bisa diajak berlama-lama di luar ruang selama beberapa jam. Setelah yakin dengan kondisi fisiknya yang cukup kuat, barulah kami mengajaknya jelajah candi.  

Candi pertama yang kami kunjungi adalah kompleks Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 3 km arah ke timur Candi Prambanan. Kompleks Candi Ratu Boko terletak di atas bukit. Jika menggunakan transportasi umum, penumpang akan turun di pinggir jalan raya Prambanan – Wonosari dan naik mendaki bukit. Lumayan ngos-ngosan, meski sudah dibuatkan tangga khusus untuk mencapai komleks candi. Paling enak memang menggunakan kendaraan pribadi, sehingga bisa langsung memarkir kendaraan di pelataran candi. Hemat energi, mengingat untuk menyusur kompleks Candi Ratu Boko ini yang cukup luas dan banyak tangga naik turunnya ini juga butuh energy ekstra. Apalagi sambil menggendong Baby Bindi.
Saat itu usia Bindi pas 8 bulan dan belum bisa berjalan, sehingga kami mengangandalkan ransel gendongan. Travel gear yang tepat digunakan untuk menjelajah kompleks candi memang ransel gendongan, bukan stroller. Stroller hanya akan membuat kita kerepotan karena jalan di kawasan candi biasanya tidak rata, bahkan ada beberapa anak tangga yang harus dilalui seperti di kompleks Candi Ratu Boko. Dengan ransel gendongan bayi, kita lebih leluasa menjelajah kompleks candi tanpa hambatan. 

Perjalanan pertama jelajah kompleks Candi Ratu Boko ternyata sukses. Bindi nggak rewel meski diajak berpanas-panas. Saat kami beristirahat di bawah pohon kelapa, duduk-duduk di atas batu-batu candi untuk membuka bekal makanan, Bindi juga tampak enjoy. Dia menyantap makanannya dengan lahap. Begitu kenyang dan kembali naik ke ransel gendongan, Bindi langsung tertidur. Dasar bocah! 

Setelah sukses melewati ujian petualangan candi, kami pun merencanakan trip ke candi lagi. Seminggu kemudian, kami mengajak Bindi ke Candi Prambanan ditemani travel gear andalan kami, ransel gendongan. Kompleks Candi Prambanan jauh lebih tertata daripada Ratu Boko yang lebih alami. Penataan Candi Prambanan yang berkonsep taman ini membuat kawasan candi terlihat lebih asri, bersih, dan bikin nggak berasa capek meski harus mengitari kompleks candi karena pintu masuk dan keluar jalurnya berbeda. 

Pada perjalanan kedua jelajah candi ini, Bindi makin terlihat daya tahan tubuhnya yang prima. Dia nggak bobok lagi di ranselnya. Malah mulai ngajak bercanda dengan narik-narik rambut saya atau bapaknya yang bergantian menggendong dengan ransel. Melihatnya tampak makin enjoy diajak bertualang kawasan candi, saya pun lantas mengagegendakan trip ke candi lainya, “kapan-kapan ke Borobudur, yuk,” ajak saya pada Edo yang langsung disetujui. Tinggal mengatur waktu bangun pagi saja, mengingat perjalanan dari Yogya ke Borobudur setidaknya butuh 45 menit. Artinya, kami harus berangkat pagi-pagi supaya sampai tujuan matahari belum terlalu tinggi. 

Sayangnya, belum sampai niatan ke Candi Borobudur kesampaian, erupsi Gunung Merapi yang terjadi sepanjang bulan Oktober 2010 lalu membuat kami perlu menunda agenda jelajah Candi Borobudur. Apalagi muntahan lahar dingin yang sempat berulang kali memutuskan jalur Yogya – Semarang, rasanya kami perlu menunda beberapa bulan atau tahun lagi deh. 

Kami pun mengalihkan trip ke candi-candi lain di sekitar Yogya. Ada puluhan candi-candi kecil yang menarik dijelajahi. Salah satunya adalah Candi Sambisari yang terletak tak jauh dari bandara Adisutjipto. Dari jalan raya Yogya – Solo, sekitar 1 km timur bandara, terdapat jalan ke utara menuju Candi Sambisari. Kira-kira 2 km jauhnya dari ruas jalan utama Yogya – Solo. 

Candi Sambisari ini sangat unik, karena terpendam di bawah tanah. Konon, candi ini ditemukan tanpa sengaja oleh seorang petani bernama Karyowinangun pada tahun 1966. Ketika ia tengah mencangkul sawah, tiba-tiba cangkulnya terantuk bongkahan batu. Saat ia mencoba menggali lebih dalam lagi, rupanya bongkahan batu itu penuh pahatan. Oleh dinas purbakalan, sawah milik Karyowinangun kemudian ditetapkan sebagai suaka purbakala.
Setelah melakukan penggalian dan penelitian selama kurang lebih 21 tahun, barulah terlihat wujud candi Hindu (Siwa) yang diperkirakan dibangunan pada abad ke-9. Rupanya akibat letusan hebat Gunung Merapi yang diperkirakan terjadi pada tahun 1006 M, candi ini jadi tertimbun lahar. Setelah ratusan tahun, lahar yang memadat itu menjadi permukaan tanah di mana di atasnya warga bercocok tanam. Itulah sebabnya, Candi Sambisari berada sekitar 6,5 meter di bawah permukaan tanah.

Saat mengunjungi  Candi Sambisari, Bindi sudah berusia 1,5 tahun dan sudah bisa berlarian. Kami sudah tidak perlu lagi membawa ransel gendongan, mengingat Candi Sambisari ini cukup mungil jika dibandingkan Candi Prambanan, Ratu Boko, dan Borobudur. Luas kawasan Candi Sambisari sekitar 50 x 48 meter, nggak bakal melelahkan buat Bindi. Kalaupun dia minta gendong saat menuruni atau menaiki tangga candi, bisa kami gendong tangan biasa, tak perlu dengan gendongan. 

Tips Jelajah Candi
·         Pilih waktu saat matahari condong ke timur (pagi) atau ke barat (barat) supaya tak terlalu terik. Loket candi biasanya sudah buku pada pukul 06.00 dan tutup pada pukul 17.30.
·         Gunakan travel gear yang nyaman seperti ransel gendongan. Jika tak memiliki, bisa menggunakan gendongan bayi jenis ransel yang diliangkan di punggung.
·         Payung dan topi jangan sampai ketinggalan ya.
·         Bawa minuman botol ekstra biar nggak dehidrasi di tengah jalan.
·         Diapers dan perlengkapan ganti sebaiknya juga dibawa serta, jangan ditinggal di mobil.

Wednesday, 30 March 2011

H - 2 = Packing

print out tiket & reservasi hotel
Dua hari menjelang traveling, biasanya saya sudah mulai menyiapkan segala macam yang bakal kami bawa. Sebenarnya H - 2 ini terlalu mepet, mengingat bawaan Baby Bindi lumayan beragam. Makanya, saya memulainya dengan menyusun packing check-list. Ini dia daftar bawaan yang akan kami bawa untuk traveling ke Singapore selama 4D3N.

Packing Checlist:
  • Print Out online reservation: tiket pesawat, tiket universal studio, booking hotel
  • Travel gear: stroller.
  • Feeding Kit : 2 botol susu 250ml, sendok makan, tumbler, tempat makan tupperware
  • Cooking Set ukuran kecil yang bisa buat rebus/kukus
  • Perlengkapan mandi, perlengkapan cuci feeding kit, diapers, obat-obatan
  • Pakaian, baju renang, topi, sepatu sandal,
Sebelum menyusun packing check list ala kadarnya ini, biasanya saya sudah lebih dulu membersihkan luggage dan stroller. Lalu secara bertahap saya kumpulkan satu persatu segala tetek bengek bawaan Baby Bindi itu. Sebisa mungkin, sebagian besar yang ada dalam checklist itu sudah terkumpul pada H - 2.

Esok harinya, yaitu H - 1, barulah saya mulai menyiapkan pakaian saya dan suami. Begitu semua pakaian kami bertiga terkumpul, mulailah kami menjejalkannya ke dalam Cellini luggage andalan kami. Sebisa mungkin semua bawaan masuk dalam luggage dan dibagasikan, sehingga kami cukup menggendong day pack yang berisi keperluan botol susu, biskuit, diaper dan pakaian ganti buat jaga-jaga selama dalam perjalanan.

Tuesday, 22 March 2011

kraton, tamansari, alun-alun

atas: di pulo cemeti; bawah: benteng kraton di jl kasatriyan
Paket wisata yang menjadi destinasi utama jika ingin berwisata ke Yogya itu hampir setiap hari disambangi Bindi sejak bayi. Setiap pagi, kami mengajak Bindi jalan-jalan ke Alun-alun dan pelataran Kraton dengan menggunakan kereta dorong (stroller). Biasanya kami berangkat dari rumah pukul 6.00, setelah Bindi mandi pagi, dan kembali ke rumah sekitar pukul 07.30. Lumayan kan satu setengah jam menghirup udara segar sembari menikmati kawasan Jeron Beteng yang dibatasi dinding-dinding tinggi. 

Rute yang kami tempuh, ada tiga jalur pilihan yang biasanya kami lakukan secara bergantian, yaitu jalur utara, jalur selatan, dan jalur barat. Jalur ini diambil dari lokasi tempat tinggal kami di jalan Magangan Kulon, yang jika dilihat dalam peta terlatak di tengah-tengah kompleks Kraton. Jika ingin jalan-jalan ke Kraton dan Alun-alun Utara, kami ambil jalur utara. Jika ingin ke Alun-alun Selatan ya ngambil jalur selatan. Sementara jika ingin ke Tamansari kami akan berjalan kaki kea rah barat. 
Biar terasa lebih seru, kami memilih jalur yang menyusur kampung. Rute berangkat dan pulangnya pun juga berbeda. Misalnya, jalur utara mau ke Kraton. Rute berangkat dari rumah ð Kemagangan ð Jl. Kasatriyan ð Jl. Kemitbumen ð Keben/halaman depan Kraton ð pulang lewat Jl. Rotowijayan ð Jl. Sidomukti ð nDalem Pakuningratan ð rumah. Jalur selatan ke Alun-alun Selatan adalah: rumah ð Kemagangan ð Kemandungan ð Sasana Hinggil (Alun-alun Selatan) ð pulangnya menyusur kampung Ngadisuryan ð rumah. Jika ke Tamansari dari rumah ð pasar Ngasem ð Pulo Cemeti (kawasan Tamansari) ð Sumur Gumuling ð susur lorong/tunnel (underground) ð kompleks pemandaian Tamansari ð pulang lewat kampung Ngadisuryan ð  rumah.

Rute menyusuri kawasan heritage berusia ratusan tahun ini sungguh menyenangkan. Dinding-dinding kraton yang tinggi memagari jalanan lengang yang kami lewati. Juga gapura dan regol (pintu gerbang) bagian kraton yang ada di Kemagangan dan Kemandungan yang dilengkapi patung dua naga dengan kedua ekornya saling melilit. Dua patung naga ini merupakan ‘suryasengkala’ yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal  menyimbolkan tahun 1628 (tahun Jawa) atau 1756 M, tahun saat kraton mulai dibangun. Itu berarti setahun setelah terjadinya perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Kerjaan Mataram menjadi dua: Kasultanan Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat.

Bindi dan Dwi Naga Rasa Tunggal

Kemagangan dan Kemandungan merupakan playground favorit buat momong dan nyuapin  Baby Bindi hingga kini. Selain karena jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumah kami, kawasan ini merupakan area terbuka yang luas dan terdapat sejumlah pohon rindang. Jika sewaktu bayi Bindi hanya pasrah di atas strollernya, kini ia bisa berlarian riang mengitari kompleks bagian belakang kraton ini. Ia juga tampak menyukai patung naga, menunjuk-nunjuknya sambil menyebut “nogo”. 

Playground favorit selain Kemagangan dan Kemandungan adalah Pulo Cemeti, salah satu bagian dari kompleks Tamansari Water Castle. Pulo Cemeti ini letaknya persis di belakang pasar Ngasem yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah kami arah ke barat. Pulo Cemeti merupakan reruntuhan bangunan yang konon cukup tinggi. Jika kita berjalan dari arah utara menuju Pasar Ngasem, akan tampak di belakang pasar bangunan kuno yang tinggi dan bagian atasnya sudah tidak utuh lagi. Bagian atas ini dulunya bisa dinaiki karena memang terdapat tangga menuju ke sana. Dari bagian atas Pulo Cemeti itu kita bisa melihat kota Yogya. Saat ini Pulo Cemeti sedang dalam tahap restorasi sehingga pengunjung tidak diperkenankan naik ke atas bangungan. Sementara itu bagian bawah bangunan Pulo Cemeti ini cukup luas sehingga Baby Bindi bisa berlarian di sana. 

Selain Pulo Cemeti, tempat yang juga enak buat berlarian buat bayi yang belum lama bisa berjalan sendiri adalah bangunan bawah tanah atau tunnel. Tunnel ini dulunya merupakan jalan yang dibangun untuk menghubungkan kompleks Tamansari dengan, konon katanya, Laut Selatan. Yang jelas, saat ini tunnel yang masih bisa dilalui hanya sepanjang sekitar 100 meter, yaitu dari Pulo Cemeti ke arah selatan menuju kompleks pemandian. 

Sudah pasti, setiap jalan-jalan pagi menyusur kawasan heritage ini kami tak pernah meninggalkan kamera poket, minimal ponsel berkamera. Sayang rasanya melewatkan foto Baby Bindi berlatar bangunan heritage yang sudah berusia ratusan tahun. Bahkan kami nggak pernah bosan mengabadikan segala polah Baby Bindi, sejak ia masih di atas stroller hingga sudah gesit berlari, meski tempat itu terlalu sering kami kunjungi.

Wednesday, 16 March 2011

[singapore] hotel atau apartemen?

Pool @Robertson Quay Hotel (image: booking.com0
Seorang kawan menyarankan jika plesiran ke Singapore bersama keluarga, mendingan nginep di apartemen. Tarifnya murah, fasilitasnya komplit, ada living room, juga ada pantry/dapur segala. Sudah pasti saya langsung meng-copas link apartemen yang bisa disewa harian dan memulai perburuan. Apartemen yang saya incar adalah Lucky Plaza (hiks, berasa napak tilas jejak Gayus aja) yang terletak di kawasan Orchard Road. Alasannya sederhana saja, karena dari browsing ternyata banyak orang Indonesia yang memiliki apartemen di Lucky Plaza dan disewakan harian. Tarif yang ditawarkan pun nggak jauh dari budget yang saya patok, antara $100 - $140 per malam.

Setelah menemukan apartemen incaran itu, saya mengisi form order yang disediakan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, saya sudah mendapat jawaban dari pemilik apartemen via e-mail.Ada dua opsi apartemen di Lucky Plaza  yang diberikan, yaitu apartemen dengan private bathroom ($180) dan sharing/outside bathroom ($100). Weitzz..kalau kamar mandi di luar, repot dong nanti kalau malam-malam Baby Bindi pengin pup. Juga, Bindi kan suka main air, kalau mandi suka berlama-lama. Gimana kalau nanti ada tamu lain yang ngantri? Repot banget. Tapi, jika pilih private bathroom yang harga sewanya semalem $180 apa nggak mending pilih hotel saja?

Jadilah saya banting setir, googling hotel lewat situs www.booking.com dan www.agoda.com. Oh ya, kedua situs ini kini menjadi andalan saya untuk reservasi hotel jika traveling bersama Baby Bindi (lupakan situs andalan backpacker www.hostelworld.com untuk sementara. Haha...!). Kedua situs ini memberikan banyak pilihan hotel dengan tarif promo (bukan published rate) di seluruh dunia. Bedanya, jika memesan kamar lewat Agoda.com kita harus membayar lunas dengan kartu kredit, sedangkan Booking.com kebalikannya, kartu kredit kita hanya dijadikan tanda reservasi tanpa dikenai charge. Booking.com juga memberikan batas waktu pembatalan reservasi tanpa kena charge. Jangka waktu ini akan berbeda pada tiap hotel yang kita pesan. Semua pembayaran baru dilakukan pada saat kita check in di hotel yang kita pesan dengan menggunakan kartu kredit yang kita gunakan untuk booking.

Hasil perburuan lewat kedua situs itu akhirnya menjatuhkan pilihan saya pada hotel Robertson Quay Hotel yang saya pesan via booking.com. Tarifnya lebih murah daripada tarif apartemen dengan private bathroom, yaitu $130 ($50 lebih murah!). Sudah begitu, lokasinya deket Singapore River pula, lokasi favorit. Sebelum menemukan Robertson, sebenarnya saya hampir menjatuhkan pilihan pada Novotel Clark Quay yang menawarkan tarif promo $200 per malam. Duluuu banget kebetulan pernah menginap di sana dan terasa betul nyamannya. Pinggir sungai persis, enak buat jalan-jalan, jendela kamarnya ngadep ke sungai, dan menyatu dengan mall dan ada toko buku Kinokuniya-nya. Tapi dipikir-pikir, kok berasa mewah banget ya. Tiga malam menginap di Novotel berati hampir sekitar 5 juta, padahal tiket promo Air Asia Jogja - Spore return untuk kami bertiga hanya sejuta.

Ya sudahlah, yang realistis saja. Robertson sudah cukup pas buat kami. Fasilitas kamarnya lumayan nyaman untuk mengumbar Baby Bindi. Sudah begitu ada kolam renangnya pula. Makin kegirangan saja, karena Bindi bisa main kecipak air setiap hari. Hhmm..ternyata hotel juga merupakan destinasi wisata buat Baby Traveler.

Tuesday, 15 March 2011

3N4D trip

@duta mall, banjarmasin
Berapa lama waktu ideal buat plesiran bersama si kecil? Buat Baby Bindi, sepertinya 4 hari (termasuk perjalanan) sementara ini sudah cukup. Kalau lebih dari itu, katakanlah seminggu, kayaknya kok masih kasihan ya. Kasihan karena dalam waktu seminggu itu ia harus makan ala kadarnya karena saya nggak sempet bikinin nasi tim dengan menu yang bergizi bebas gula dan garam. Selain itu, kasihan juga emak dan bapaknya dong, karena harus kelamaan ninggalin gaweyan di kantor.

Sebaliknya, jika waktu plesiran terlalu singkat, kasihan si kecil juga karena nggak ada jeda untuk beristirahat. Hari ini nyampe daerah tujuan, besok pagi seharian jalan, dan lusa sudah harus pulang. Kalau perjalanan jarak dekat sih nggak masalah, lha kalau perjalanan lintas pulau/propinsi atau ke negara tetangga kan nggak seru tuh.

Sekedar gambaran, berikut agenda 3N4D trip-nya Baby Bindi yang biasa kami lakukan:

  1. Day 1 : Arrival. Jika tiba pada siang hari, kami akan beristirahat di hotel hingga sore. Setelah itu sorenya, sekalian nyuapin, jalan-jalan ke mall untuk berbelanja berbagai keperluan si kecil untuk beberapa hari ke depan seperti biskuit, buah, diapers, dll
  2. Day 2 : Pagi hari setelah sarapan, jalan-jalan ke destinasi wisata tujuan. Biasanya hingga siang hari, kembali ke hotel, bobok-bobok siang, bangun tidur kuterus mandi sore, lalu dilanjut jalan sore menikmati suasana. Kadang kami balik ke mall lagi, nyari sejenis Timezone, buat menghibur Baby Bindi.
  3. Day 3 : idem, mirip kegiatan hari ke-2 dengan destinasi yang berbeda. Malam harinya mulai packing supaya esoknya nggak kerepotan.
  4. Day 4 : Jika perjalanan pulang dilakukan pada siang atau sore, pagi hari masih bisa digunakan untuk packing dan jalan-jalan di sekitaran. Tapi kalo pulangnya dapat flight pagi, ya apa boleh buat.
Selama di daerah tujuan, kami tidak ingin terikat waktu. Kalau enjoy ya dilanjut, kalau Bindi udah kelihatan kecapean, ya mari kita kembali ke hotel. Main-main di hotel juga bagian dari rekreasi kok. Apalagi kalo hotelnya punya fasilitas kolam renang. Bindi kegirangan banget bisa bermain air. Karena itu, memilih hotel yang nyaman, luas, dengan harga terjangkau juga sama pentingnya dengan memilih destinasi wisata yang baby friendly.

Monday, 14 March 2011

cellini luggage andalan keluarga...

cellini bag
Sejak Baby Bindi mulai plesiran jelajah nusaraya, saya terpaksa membeli tas atau luggage khusus yang bisa muat pakaian kami bertiga selama sekitar 4 hari bepergian. Setelah beberapa hari survey, akhirnya menemukan Cellini luggage. Yang saya sukai dari tas ini, meskipun kapasitas dan ukurannya lumayan gede, tapi akan terlihat lebih ringkas jika kebetulan sedang tidak digunakan karena bahannya tidak kaku seperti koper. Selain itu bentuknya yang casual sudah pasti cocok dengan karakter saya.

Cellini luggage ini saya beli setelah perjalanan pertama Bindi ke Bali saat usianya 9 bulan. Waktu itu, kami masih trmenggunakan travel bag Eastpak seri Warehouse yang semula termasuk koleksi tas gede saya. Eh, nggak tahunya nggak muat alias saya masih harus menjejalkan barang-barang ke kantong lain. Alhasil, bawaan kami jadi banyak banget. Apalagi waktu itu selain travel bag, kami juga bawa ransel gendongan dan stroller. Masih ditambah ransel daypak yang nempel di punggung. Kebayang kan betapa kedua tangan kami penuh dengan bawaan?

Pengalaman pertama plesiran ke luar pulau yang penuh bawaan itu sudah pasti nggak pengin kami ulang. Salah satu solusinya adalah dengan membeli tas yang lebih besar yang muat untuk menampung pakaian, kaleng susu, mainan, dll. Jadi saat plesiran kami cukup membawa sebuah travel bag yang akan masuk bagasi bersama ransel gendongan bayi atau stroller (dipilih salah satu sesuai kebutuhan), dan sebuah daypack yang berisi botol susu, biskuit, diapers, dan sepotong pakaian ganti selama di perjalanan.

Oh ya, saat plesiran dengan Baby Bindi saya memang menghindari menggunakan ransel yang biasa saya pakai kalau lagi backpacking. Sebagai gantinya saya lebih memilih koper yang bisa dibuka lebar sehingga mempermudaha mengambil barang tertentu. Maklum lah, namanya juga baby traveler, bawaannya pasti aneh-aneh, nggak cuma baju. Tapi juga ada mainan dan buku kesayangannya. Maianan ini sudah pasti harus mudah diambil. Nah, kalau bawa ransel, bisa lebih ribet. Harus bongkar-bongkar dulu semua isinya.

Setelah punya Cellini bag ini, bawaan utama kami bertiga bisa masuk semua jadi satu. Total beratnya sekitar 27kg. Hehe...!

Thursday, 3 March 2011

barito river cruise

baby bindi kegirangan di atas kelotok
menyusur sungai dengan kelotok merupakan pengalaman wajib yang harus dinikmati saat berkunjung ke borneo. begitu juga ketika kami mengajak baby bindi ke banjarmasin, petualangan ini nggak boleh dilewatkan. meski bindi harus bangun pagi-pagi buta sekitar pukul 04.00 dini hari.

untung baby bindi bisa bangun dengan ceria tanpa mewek-mewek. sepertinya dia tahu bahwa akan diajakin jalan-jalan. makanya, tetep fun meskipun masih ngantuk berat. buktinya, baru sekiar 10 menit di atas kelotok, bindi langsung tertidur lagi. hihiii...

destinasi utama kami adalah pasar terapung kuin di sungai barito. jujur nih, sebenarnya saya pengin ke pasar apung lok baintan, yang lebih rame dan padat. kayaknya seru buat difoto-foto. tapi karena pagi itu hujan dan jarak ke lok baintan (martapura) relatif lebih lama (hampir 1 jam perjalanan air), ya sudahlah ke kuin saja. sekalian liat monyet di pulau kembang.

ternyata pula, sudah makin jarang para penjual di pasar apung kuin. malah, banyakan kelotok wisatawan. haha...! padahal jaman dulu ke sini tahun 1994, pasar apung kuin cukup rame. kelotok kami sampe bersenggolan dengan yang lain. penjual-penjualnya banyak, aneka sayur dan wadai (kue-kue).

oh ya, saya juga sempet jajan kue untuk mengganjal perut yang kosong. nggak puas makan kue, dilanjut jajan soto banjar dan nasi kuning. eh, rupanya ada floating restaurant..! menunya beragam, soto, sate, nasi kuning, dll. pembeli juga bisa masuk ke atas perahu yang sudah disiapin meja dan bangku panjang. saya sih tetep makan di atas kelotok carteran kami, biar nggak repot ngangkat bindi.

setelah perut kenyang, barulah kami melanjutkan perjalanan ke pulau kembang, pulau yang dihuni monyet. lokasinya nggak jauh dari pasar kuin kok. sayangnya, hujan nggak juga reda. males banget mau turun. jadi kami cuma bisa menikmati monyet-monyet berlarian dari kejauhan. tapi baby bindi udah girang nggak karuan loh. dia tunjuk-tunjuk itu monyet-monyet sambil berseru-seru girang. apalagi ketika kami lemparin pisang, monyet-monyet itu berlarian turun ke air. lucuuu...!

Wednesday, 2 March 2011

banjarmasin riverside walk

pedestrian yang enak buat jalan-jalan sore
WOW..! beneran, ini ekspresi kagum dan keterkejutan saya saat menemukan riverside di sepanjang jl. sudirman, depan masjid raya & kantor gubernur. maklumlah, dulu jaman saya pertama kali ke kota ini th 1994 dan diulang th 1996 saat kkn di kab pelaihari, belum ada riverside walk ini.

ternyata pula, pada hari minggu sore kemarin (27/2/2011) sedang ada atraksi "melukis pelangi" (eh, ini saya sendiri yang menamainya) yang dilakukan oleh para fire-fighter alias tim pemadam kebakaran. tadinya, kami pikir bunyi sirine yang meraung-raung itu karena ada kebakaran, eh nggak taunya mobil2 pemadam kebakaran pada berdatangan dan parkir berjejer di tepi sungai. mereka lantas menyedot air sungai dan menyemburkannya ke udara, ke atas sungai martapura. sejurus kemudian, terciptalah pelangi...

atraksi melukis pelangi di atas sungai martapura

pelangi-pelangi..alangkah indahmu..merah kuning hijau di langit martapura..pelukismu agung, siapa gerangan..pelangi-pelangi ciptaan fire fighter..!

haha..saya nyanyikan lagu itu untuk baby bindi yang tampak takjub melihat air yang menyembur-nyembur di udara...

oh ya, di sisi ruas jalan sudirman yang lain, terdapat riverside walk yang indah, tempat kongkow anak-anak muda banjarmasin pada hari minggu. pedestriannya luas dan nyaman buat nongkrong dan jalan. baby bindi langsung berlarian tanpa henti, bikin bapak dan emaknya ngos-ngosan. soalnya rada kawatir juga, karena besi teralis pagar pembatasnya banyak yang dicuri! aarrrgghh...bikin emosi..! pagarnya jadi melompong, nggak aman buat anak-anak kecil. baby bindi bisa langsung mbrobos nyemplung kali kalo nggak dihalangin. 


[album foto bisa diintip di sini]

Monday, 21 February 2011

no shower, bathup please...

Bath time is fun
Begitu punya momongan dan ngajakin Baby Bindi traveling, ternyata saya harus merombak kebiasaan saya dalam mencari akomodasi/hotel di suatu daerah. Biasanya, saya nggak pernah booking hotel duluan jika bepergian di Tanah Air. Saya lebih suka beli voucher hotel di bandara kota tujuan karena harganya seringkali lebih murah. Lumayan kan irit 50ribu - 100ribu, bisa buat ongkos taksi dari bandara. Kalau di bandara nggak ada agent hotel, barulah saya menelpon sejumlah hotel yang daftarnya sudah saya siapkan duluan. Buat saya yang sudah terbiasa jalan sendiri, hotel jenis apapun nggak masalah, yang penting lokasinya nggak terlalu jauh dari target kunjungan saya ke kota tersebut.

Sekarang, jika plesiran bareng Bindi, reservasi beberapa hari sebelum hari H hukumnya jadi wajib. Kebersihan dan kenyamanan kamar hotel juga menjadi prioritas. Bahkan luasan kamar juga sering saya pertimbangkan supaya Bindi juga bisa main-main di kamar hotel sambil disuapin makanannya. Fasilitas hot water itu juga wajib karena Bindi belum bisa mandi dengan air dingin kecuali jika lagi berenang di kolam terbuka. Belakangan, saya punya request khusus, minta kamar dengan bathup bukan shower.


Permintaan terakhir ini berdasar pengalaman banyaknya shower di kamar hotel yang kadang semburan airnya nggak bisa diatur. Malah, saya pernah menginap di kamar hotel bintang tiga tapi semburan airnya terlalu kenceng sehingga badan saya berasa kayak orang ditampar sewaktu mandi. Ampun deh! Saya nggak mau bermain spekulasi lagi jika ngajak Baby Bindi. Bathup jadi pilihan utama. Atau malah bak mandi tradisional, seperti di rumah saya, is better than shower. 


Dan bathup is the best karena akan lebih nyaman buat si kecil. Apalagi jika disiapin mainan air teman mandi. Mandi pun jadi kegiatan yang menyenangkan buat si kecil meski sedang traveling nun jauh di rantau.

Tuntutan fasilitas ini sudah pasti berimplikasi pada budget. Anggaran kamar hotel per malam jadi membengkak dua kali lipat dari tarif hotel yang biasa saya inapi jika jalan sendiri. Jika tadinya saya merasa nyaman dengan kamar seharga 150an ribu (kalau di Ubud -Canderi- malah cuma 50ribu), sekarang saya harus mencari kamar bertarif rata-rata 400ribu untuk mendapatkan kenyamanan itu. Apa boleh buat.



Wednesday, 2 February 2011

ayo jelajah nusaraya..!

Losari Beach, Makassar

Bertempat tinggal di kota wisata nomor 2 di Indonesia, Yogyakarta, terkadang membuat saya jadi bingung mencari destinasi liburan long weekend, selain ke Ubud Bali. Di saat yang lain pengin long weekend-an di Jogja, saya enaknya ke mana ya? Ke Bandung? Ah, males wisata fashion. Ke Malang? Pengin sih, tapi mendingan nanti aja kalo Baby Bindi udah jadi kid alias udah gedean. Ke Jakarta? Kayaknya kok nggak keren liburan ke Jakarta. Hehehe...!


Liburan ke luar negeri? Bindi memang sudah punya passport dan sudah punya tiket promo Air Asia untuk ke Singapore bulan April 2011 nanti. Selain Singapura, negara tetangga yang baby friendly alias nyaman buat jalan-jalan sama si kecil, kayaknya kok nggak ada. Hong Kong? Oke juga sebenarnya, tapi kejauhan kalo buat long weekend 4D3N. Kuala Lumpur? Itu juga mirip-mirip Jakarta. Paling nanti ke Petronas dan main di mall atau liat aquarium di KLCC. Ke Bangkok? Hhmm... enggak worth buat Bindi deh kayaknya. Negara-negara tetangga lain dari tiga yang saya sebut jauh lebih nggak nyaman kondisinya buat jalan-jalan bawa anah umur 15 bulan.


Setelah saya renung-renungkan, ternyata memang Jogja is the best kok. Weekend-an jelajah candi-candi pasti seru dan nggak ada habisnya. Hobi ini sudah kami lakukan sejak Baby Bindi umur 6 bulan dan sempet terhenti setelah Merapi meletus. Padahal kami belum sempat ke Borobudur. 


Selain 'jajah Jogja milang kori" (jelajahi kota Jogja), target jalan-jalan jauhnya Baby Bindi adalah ke luar pulau Jawa, biar lebih kenal beragam Budaya Nusantara. Ke Bali sudah dua kali. Pengin ke timurnya lagi, ke Lombok suatu saat nanti. Ke Makassar sudah pernah sekali. Kapan-kapan pengin dilanjut ke Pare-Pare nengokin adiknya Edo yang bertugas di sana sekalian wisata budaya ke Toraja. Sebenarnya waktu ke Makassar kemarin sudah merencanakan hal ini, tapi karena butuh waktu liburan minimal seminggu, saya lantas menundanya. Ke Borneo? Pengin sekali ngajakin Baby Bindi ke pedalaman Kaltim, tinggal di rumah panjang (lamin) suku Dayak. Saya kan pernah tinggal di sana selama sebulan jaman jadi mahasiswa Antropologi dulu. Semoga suatu hari angan ini terwujud.


Saya juga pengin ajak Baby Bindi ke belahan Borneo lain, ke Pontianak. Kebetulan ada kerabat yang barusan dipindah tugas ke Pontianak awal Januari 2011 lalu. Tadinya juga, long weekend imlek ini pengin ke sana. Tapi karena ada deadline pekerjaan dan tiketnya jadi melejit karena etnis Tionghoa di Pntianak dan Kalbar pada imlekan. Ya sudah ditahan saja, masih bisa kapan-kapan kok.


Eh ndilalah, kok ya tadi pagi sahabat saya kirim inbox mengabarkan rencana pernikahannya. Sahabat saya itu, asalnya dari Banjarmasin. "Acaranya di Banjar bukan? Kalau di Banjar aku mau dateng sekalian ajak Baby Bindi." Balas saya bersemangat. Semangat yang full power, lha wong barusan nyalain komputer pagi-pagi di kantor, login ke FB, dan menemukan notifikasi di inbox. Sambil berbalas-balasan lewat inbox, saya membuka website Lion Air yang melayani penerbangan direct Jogja - Banjarmasin (dulu ada Mandala). Juga nelpon Edo menyampaikan niatan ini yang langsung di-acc. Nggak sampe 15 menit kemudian, saya kirim konfirmasi e-ticket itu ke sahabat saya sambil mengancam, "awas kalo gak jadi kawinan tanggal itu!" Malah dia yang shock karena nggak nyangka dalam waktu sekejap saya sudah punya tiket bertuliskan nama saya, Edo, dan Baby Bindi. Belum tahu dia, ya begini inilah yang disebut gayung bersambut.


So, Baby Bindi is going to South Borneo at the end of this month.

*

Tuesday, 1 February 2011

touch the animals experience

Pengin ngelus the lion king
Baby Bindi mulai memperlihatkan ketertarikannya pada binatang ketika usianya jalan 10 bulan. Bindi mulai suka nunjuk-nunjuk ke arah anjing tetangga yang sering lewat di depan rumah kami. Nggak cuma nunjuk-nunjuk, tapi juga maksa minta ngikutin ke mana anjing itu berjalan. 

Sebenarnya nggak cuma anjing aja sih yang dia suka. Semua binatang yang ditemuinya di sekitar rumah, selalu membuatnya kegirangan. Apalagi jika binatang itu nggak cuma diam, tapi bergerak. Ayam, kucing, burung, dan cicak adalah binatang-binatang yang dapat dengan mudah ditemuinya di sekitar rumah. Bindi juga udah mulai pinter memainkan jari-jarinya memanggil burung dan ayam.


Lalu, saya dan Edo pun mulai merencanakan trip ke kebun binatang. Ke Gembira Loka, kebun binatang terbesar di Indonesia. Hehe...! Tapi, kami selalu gagal ke Gembira Loka, padahal kan nggak jauh dari rumah. Pernah suatu kali, saat libur lebaran, kami sudah sampe depan Gembira Loka, tetapi begitu melihat parkirannya penuh, rasanya jadi maleesss...! Jangankan libur lebaran, pada akhir pekan saja parkiran Gembira Loka bisa dipastikan penuh. Banyak rombongan sekolah dari daerah lain yang melakukan study-tour. Ternyata susah juga ya mau piknik di kota sendiri.


Akhirnya kami merencanakan trip lain. "Gimana kalo kita ke Bali Bird Park?" usul saya yang langsung disambut dengan girang oleh Edo. Jelas dong, soalnya sebenarnya kami pun sejak lama sudah beberapa kali gagal mau mampir ke Bali Bird Park setiap liburan ke Ubud. Adaa aja yang bikin kami nggak jadi singgah di sana. 


Sekarang mumpung sudah punya Baby Bindi, nggak boleh lagi dibatalkan. Bahkan trip kami ke Bali kali ini, saat usianya Bindi hampir 12 bulan, khusus buat Bindi mengenal binatang. Kami sisihkan waktu seharian hanya buat main-main ke Bali Bird Park, Reptile Park, dan Bali Zoo. Kebetulan pula lokasinya berdekatan, sehingga kami bisa full day di ketiga tempat itu dari pagi hingga sore.

Elus yang ini aja, nduk
Beneran lho, Bindi terlihat begitu menikmati aneka satwa yang ada di sana. Semua binatang penginnya disentuh. Bahkan singa yang lagi mengaum-aum kelaparan aja pengin dipegang. Hehe..tentunya cuma megang di kaca sebagai pembatas. 

Karena Bindi tidak memperlihatkan ketakutan pada binatang, kami jadi nggak ragu-ragu untuk mendekatkan tangannya pada binatang-biantang tertentu yang jinak. Seperti pada iguana, kura-kura, dan burung rangkok. Oh ya, juga saat di Bali Zoo resto ada atraksi binatang-binatang buas yang sudah jinak. Banyak anak-anak bule yang pada berfoto. Baby Bindi nggak mau ketinggalan dong, ikutan foto berkalung ular. Hihiii...!


Oh ya, beberapa waktu lalu, kami akhirnya berhasil dolan ke Gembira Loka. Saya baru sadar, di gapura bagian depan ada baliho besar bertuliskan Gembira Loka Zoo. Hahaha, pake 'zoo' memang terlihat lebih keren kali ya? 


Gembira Loka Zoo memang sudah beda dengan apa yang saya nikmati sewaktu bocah dulu. Saat ini sudah ada Reptile Park yang menampilkan koleksi berbagai reptile dari berbagai dunia. Ada juga aneka kodok dari aneka bangsa. Lucu-lucu ragamnya. Sayangnya, karena tempatnya yang terlalu luas dan sudah pasti butuh biaya renovasi yang muhaal, belum semua bagian mendapat sentuhan baru. Padahal untuk bisa menikmati area seluas itu, pengunjung butuh tempat rindang atau shelter jika tiba-tiba hujan. Bahkan juga butuh moda transportasi tertentu di dalam kebun binatang supaya yang kecapean jalan bisa naik ke shuttle bus atau kereta mini atau apapun namanya.


[more image please click here]

Monday, 31 January 2011

plesiran bareng baby itu irit kok!

Baby Food dari Garuda Indonesia

Ngajakin plesiran baby/infant (under 2 years) itu sebenarnya irit loh. Yuk, kita itung-itungan. Biaya transport dan akomodasi yang menyedot dana terbesar selagi traveling, nggak berlaku buat baby. 

Akomodasi jelas free karena hotel biasanya memberlakukan tarif sewa kamar untuk berdua dan free for kids under 10 years old. Biaya transport jika menggunakan moda transportasi darat juga free. Naik kereta dan bus nggak bakalan di-charge. Sementara kalao naik pesawat, jauh deket tarif infant berkisar antara 120-150 ribu (tergantung airline). Tarif ini berlaku flat alias pukul rata, enggak kayak tarif emak dan bapaknya yang mengikuti jenis tiketnya.

Meskipun infant cuma bayar 120 ribu, tapi di pesawat dapat jatah konsumsi yang nggak kalah sama orang dewasa (tentu saja yang ini hanya berlaku buat airline yang memberi fasilitas konsumsi untuk penumpang). Misalnya, saat Baby Bindi naik Merpati Airlines dari Jogja - Makassar return. Baby Bindi juga dapat satu dos isi makanan komplit (bukan snack) seperti jatah emak dan bapaknya. Memang sih itu nggak bakal kemakan sama Bindi karena nasinya kurang lunak, tapi kan lumayan buat nambahin jatah emak dan bapaknya. Hihi...!

Yang asyik kalo naik Garuda (itu sudah pasti). Ternyata Garuda punya menu khusus buat infant, yaitu 2 botol makanan bayi merk Heinz. Sedaapp...! Harga satu botol Heinz baby food di supermarket antara 22 - 32 ribu. Untuk dua botol itu anggep aja 50 ribu. Padahal Baby Bindi cuma bayar tiket Garuda ke Bali 130 ribu sekali jalan. Kalau dikurangi 50 ribu buat jatah konsumsinya, berarti cuma sekitar 80 ribu yang masuk ke airline.


Itu pun nggak semua. Karena masih ada gift lainnya dari Garuda untuk infant flyer ini, yaitu satu paket berisi diapers, bedak jonhson ukuran kecil, satu saset tissue basah, satu lembar perlak plastik ukuran mini, dan juga mainan bebek-bebekan dari karet yang bisa bunyi cit-cit-cit. Saya kurang tahu persis berapa biaya produksi untuk satu paket gift itu. Mungkin sekitar 25-50 ribu kali ya. 

Nah, kalo begitu semakin kecil lagi jatah rupiah yang masuk ke airline. Bisa dibilang, nol rupiah alias pihak airline nggak terlalu ngarep pemasukan dari infant flyer ini. 
Setelah transport dan akomodasi, aksi hemat traveling with baby ini masih berlaku di daerah tujuan. Buat masuk-masuk ke tempat wisata, biasanya bayi nggak perlu bayar tiket.Kalo ada yang memberlakukan tiket buat bayi, mari kita komplain seperti pengalaman saya saat ngajak Bindi ke Trans Studio Makassar

Oh ya, Based on my experience, traveling with Baby Bindi itu bikin saya nggak tergoda bela-beli yang aneh-aneh. Di Ubud misalnya, biasanya saya suka bela-beli craft aneh-aneh buat pajangan rumah, eh waktu sama Bindi, saya nggak beli apapun. 

Alasannya sederhana, pertama nggak ada waktu karena buat ngurusin Bindi sejak bangun tidur sampe kemudian saatnya jalan-jalan udah menghabiskan energi. Kedua, nggak nyaman banget ngajak Baby Bindi milih-milih craft, entar malah tangannya beraksi mberantakin dagangan orang kan bikin celaka. Ketiga, terlalu menikmati kebersamaan dengan Bindi sampe nggak kepikiran mikiran napsu pribadi. Hihii...!

Nah, sekarang ketahuan kan, emang irit. Jadi, nggak ada alasan buat nggak ngajak si kecil jalan-jalan kan? Mumpung dia masih infant under 2 years, yuks ajakin traveling. Kalo udah di atas 2 tahun udah bayar full tiket pesawatnya loh. Hehehe...!!!!

Sunday, 30 January 2011

kuliner nusantara isn't a baby friendly destination

Baby Bindi terlelap di Bali Zoo resto

Kalo lagi plesiran sama Baby Bindi, saya dan Edo nyaris nggak pernah makan bersama dalam satu meja. Makannya musti bergantian. Kalo saya yang duluan makan, berarti Edo yang jagain Bindi, biasanya diajak jalan-jalan. Begitu saya selesai makan, gantian saya ambil alih Bindi. Kalau kebetulan waktu makan kami bersamaan dengan waktu makannya Bindi, seringnya pas makan siang,  barulah kami bisa duduk semeja bertiga. Saya nyuapin Bindi duluan dan Edo makan menunya. Begitu Edo dan Bindi selesai makan, mereka jalan-jalan sementara saya gantian yang menyantap makanan.

Terkecuali kalo ngepasin jam makan, Baby Bindi lagi tertidur. Ini kesempatan emas yang nggak kami sia-siakan untuk menikmati menu pilihan yang mak-nyus. Mumpung si kecil lagi terlelap, emak dan bapaknya puas-puasin makan yang enak-enak. Hehe...!

Demi kenyamanan Baby Bindi yang terpaksa nungguin emak dan bapaknya gantian makan, kami suka pilih-pilih tempat makan. Sokur-sokur yang ada garden dan kolam ikan, jadi Bindi bisa enjoy main-main selagi kami gantian makan. Apes-apesnya kami pilih makan di mall yang adem dan enak buat strolling juga. Kalo sudah begini, soal pilihan menu jadi nomor dua. Sing penting wareg, nggak perlu kuliner-kulineran deh.

Tapi sesekali pernah juga kami 'maksa' Bindi wisata kuliner nusantara. Waktu di Makassar, saya ajakin Edo makan Konro Karebosi dan ikan bakar Lae-Lae. Niatan saya sebenarnya mulia, karena ini kali pertama Edo ke Makassar, sementara saya udah sering. Masak enggak nyobain kuliner Makassar sih? Padahal kan banyak ragamnya, dari konro, mie titi, sup kepala ikan, dll..dll...

Begitu nyampe di Konro Karebosi, saya dan Edo baru sama-sama tersadar, bahwa warung ini nggak baby friendly. Coba saja lihat, pengunjungnya buanyak,tempat duduknya terisi semua, musti nunggu sebentar untuk bisa duduk, sudah begitu asapnya mengepul nggak nyaman banget buat si kecil. 

Saat bergantian makan pun juga kurang nyaman, karena nggak ada tempat buat jalan-jalan sama Baby Bindi. Keluar warung udah jalan, panas pula kalo siang. Sementara di dalam warung juga padat. Alhasil, konro yang biasanya terasa nikmat kalo saya santap sendiri pas lagi ke Makassar, kali ini berasa sama sekali nggak ada enak-enaknya. Makannya musti buru-buru karena kasian sama Baby Bindi. Hiks..!

Sejak itu kami mencoret daftar kuliner nusantara dalan tiap family trip kami. Mendingan makan di restoran atau di mall yang nyaman buat si kecil. 




Friday, 28 January 2011

free for infant, tapi pake eyel-eyelan


awal desember lalu baby bindi jalan-jalan ke trans studio makassar. meski belum banyak wahana yang baby friendly, tapi lumayanlah..bindi bisa liat aneka permainan dan juga jalan-jalan di theme park studio yang luas dan adem.

oh ya, saat mau beli tiket, saya sempet nanya ke petugas, apakah bayi juga harus bayar tiket. lalu petugas tiket menyuruh saya nanya ke petugas pemeriksa tiket yg berjaga di gate, pintu masuk. "harus bayar full," katanya. bayi yang berumur 4 bulan ke atas harus bayar seperti orang dewasa. saya kaget, masa bayi belum bisa jalan dan tidak mungkin menikmati semua wahana yang disediakan juga harus bayar full? yang bener aja. di luar negeri biasanya free for infant, 50% for kids, dan full payment for adult.

lalu saya bertanya pada petugas di ticket booth lagi, "yang bener aja mbak, masa bayi bayar full?" lalu mereka bingung sendiri. saya di suruh nunggu beberapa saat. si mbak itu bolak-balik menghubungi orang-orang yang dianggap bisa membuat keputusan.
setelah sekian lama menunggu, barulah si mbak bilang bahwa bayi gak perlu bayar. saya pun melenggang dengan senang menuju pintu masuk. "sudah ada tiket untuk bayinya?" tanya petugas pintu masuk. saya terkaget. "lho, tadi dibilang free tuh?" si mbak petugas menggeleng, "harus punya tiket sendiri," katanya maksa. saya jadi sebel, "oke, mbak ke sana aja, tanya ke petugas di ticket booth ya," males dong kalo saya disuruh bolak-balik.

finally sih, dapet free for infant. tapi pake nunggu lama dan pegel. hiks..!

Friday, 14 January 2011

Baby Bindi on Magazine (Maj. Sekar, 12 Jan 2011)


Kebanggaan seorang Ibu yang berprofesi sebagai penulis adalah, ketika anaknya nongol di media. Hehe...! Karena Baby Bindi belum bisa baca dan nulis, sementara enggak apa deh diwakili emaknya dulu.

Ceritanya, bulan November 2010 lalu saya diwawancarai Mbak Tassia dari Maj. Sekar (Gramedia Majalah). Wawancara by phone Jakarta - Jogja. Lumayan lama juga wawancaranya, soalnya sempet diselingi break karena batuk-batuk dulu. Hiks..!

Tema wawancaranya seputar "traveling with baby". Buat saya, yang doyan traveling, ngajakin Baby Bindi jalan-jalan itu merupakan bagian dari proses belajar mengenal alam dan budaya lain. Sebisa mungkin saya berusaha mengajak Bindi traveling yang saya dedikasikan untuk dirinya, bukan untuk kepentingan orang tuanya.

Karena itu, saya lebih suka mengajak Bindi traveling ke tempat-tempat yang saya sudah sering mengunjunginya. Misalnya ke Ubud, Bali. Saya kan udah lumayan fasih daerah itu, jadi saya nggak tergoda pengin melihat macem-macem. Dengan begitu, saya bisa optimal memperkenalkan Bindi pada alam dan budaya lain: jalan-jalan ke sawah, ngliat enabuh gamelan bali, main sama bule-bule kecil, dll.

Ada kalanya, saya terpaksa mengajak Baby Bindi bepergian jauh untuk urusan keluarga. Nah, ini yang rada-rada bikin repot karena nggak bisa sepenuhnya rekreasi. Misalnya saat kami ke Makassar bulan Desember 2010 lalu. Kami ke sana dalam rangka kawinan sodara.

Sebenarnya, kami sudah disiapin kamar di hotel yang nggak jauh dari famili yang punya gawe itu. Tapi demi kenyamanan Baby Bindi, saya memilih bayar hotel sendiri di dekat Pantai Losari, yang jadi agak jauh dari rumah famili. Alasannya sederhana aja sih, kalau saya nginep di dekat rumah famili, pasti mau nggak mau harus menghadiri prosesi pernikahan adat Bugis yang sudah berlangsung selama 3 hari berturut-turut sebelum malam resepsi. Duh, enggak kebayang, capeknya bawa Bindi ke sana. Walaupun, sejujurnya, saya sangat amat ingin mendokumentasikan prosesi perkawinan Bugis secara lengkap. Mana famili saya itu keturuan bangsawan bugis pula kan. Tapi kalau saya maksain keinginan saya, kasian Baby Bindi-nya.

Jadilah saya pilih hotel menjauh, supaya ada waktu lebih longgar untuk berekreasi. Bindi bisa berperahu ke Pulau, bisa main ke Trans Studio, bisa jalan-jalan menyusur pantai, juga masih bisa menghadiri salah satu prosesi adat Mapacci pada malam sebelum ijab.

Nah...kembali ke majalah Sekar edisi 12 Januari 2011..edisi Baby Bindi...semoga akan segera disusul dengan buku yang saya susun "Traveling with Baby". Doain yaa....!